Jakarta – Rapat kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan pemerintah telah menyepakati Rancangan Undang-Undang atau RUU Cipta Kerja untuk disetujui menjadi Undang-Undang (UU) dalam Rapat Paripurna.
Dalam rapat sebelumnya, Dewan dan Pemerintah menyepakati RUU ini dalam Raker Pengambilan Keputusan Tingkat I di DPR pada Sabtu (3/10) malam. Ragam ketentuan kontroversial yang merugikan rakyat turut mewarnainya.
Pembahasan RUU Cipta Kerja memicu kontroversi. Meski dirundung penolakan dan demo besar-besaran serikat buruh di berbagai daerah, pemerintah dan DPR tak bergeming dan terus melanjutkan upaya pengesahan RUU Cipta Kerja.
Bahkan, disebutkan sebanyak dua juta buruh dari sekitar 10 ribu perusahaan di 25 Provinsi yang akan melakukan aksi mogok nasional yang berlokasi di lingkungan perusahaan masing-masing.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) pun membeberkan alasan mengapa beberapa poin dalam RUU Ciptaker ini harus disoroti dan kemudian ditolak sebab dinilai merugikan kaum buruh.
Pertama, RUU Ciptaker menghapus upah minimum kota/kabupaten (UMK) bersyarat dan upah minimum sektoral kota/kabupaten (UMSK). Sedangkan KSPI menilai UMK tidak perlu diberikan syarat karena nilai UMK yang ditetapkan di setiap kota/kabupaten berbeda-beda.
Seharusnya, kata buruh, penetapan nilai kenaikan dan jenis industri yang mendapatkan UMSK dilakukan di tingkat nasional.
Kedua, pemangkasan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan, di mana 19 bulan dibayar pengusaha dan enam bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan.
Ketiga, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang menyatakan tidak ada batas waktu kontrak atau kontrak seumur hidup.
Keempat, karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup, yang menurut KSPI bakal menjadi masalah serius bagi buruh. Sebab masih belum jelas nantinya siapa pihak yang akan membayar Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk karyawan kontrak dan outsourcing.
Kelima, jam kerja yang eksploitatif atau tanpa batas jelas dinilai merugikan fisik dan waktu para buruh .
Keenam, penghilangan hak cuti dan hak upah atas cuti. Protes ini juga disampaikan oleh Komisi Nasional (Komnas) Perempuan yang menyebut salah satu pasal di klaster ketenagakerjaan menyebutkan secara jelas bahwa perusahaan tidak memiliki kewajiban untuk membayar upah buruh perempuan yang mengambil cuti haid secara penuh.
Ketujuh, terancam hilangnya jaminan pensiun dan kesehatan karena adanya kontrak seumur hidup.
Dalam pembahasan RUU Kontroversial ini, sebanyak tujuh fraksi setuju untuk melanjutkan pembahasan RUU Omnibus Law Ciptaker ke Rapat Paripurna DPR RI pada Kamis (8/10) mendatang, sementara dua fraksi lainnya menolak.
Adapun, tujuh fraksi yang menyetujui RUU ini dibahas pada tingkat selanjutnya yaitu PDIP, Gerindra, Golkar, PKB, Nasdem, PAN dan PPP. Sementara dua fraksi yang menyampaikan penolakan pengesahan RUU Ciptaker itu adalah Partai Demokrat dan PKS. Sumber
“Tulisan ini adalah bagian dari tugas dan pembelajaran kelas Manajemen Media Digital. Apabila ada kesalahan atau kekurangan mohon dimaafkan.” Agus Mendrofa/ MMD2