Nilai tukar rupiah masih berpotensi menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Apalagi mengingat posisi sekarang yang masih di bawah level fundamental.
Posisi perekonomian Indonesia juga dalam kondisi yang terus membaik. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 4,3-5,3% tahun ini, jauh lebih baik dibandingkan 2020 yang tercatat kontraksi. Inflasi juga terkendali di 1,38% (year on year/yoy) dan defisit transaksi berjalan yang rendah dengan proyeksi 1-2% terhadap PDB tahun ini.
“Dinamika pelemahan rupiah lebih banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu penguatan nilai tukar USD secara broadbased ke level tertinggi selama 4 bulan terakhir,” kata Hariyadi.Pelemahan yang terjadi sekarang, menurutnya paling besar dipengaruhi oleh sentimen negatif dari AS. Sehingga tekanan terhadap rupiah tidak bisa dihindarkan.
Rupiah tidak melemah sendirian. Mata uang banyak negara juga bernasib sama. Hariyadi menyebutkan seperti euro (Eropa), pound sterling (UK) dan yen (Jepang) mengalami pelemahan terhadap dolar AS. Pada negara berkembang ada baht (Thailand), won (Korea Selatan), yuan (China) dan ringgit (Malaysia).
“Posisi pelemahan rupiah kita masih lebih baik dibandingkan beberapa peer countries emerging market,” ujarnya.
BI telah melakukan intervensi demi menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Terlihat, meskipun ada pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS), namun tidak begitu dalam seperti banyak negara lainnya.
BI memiliki jurus pamungkas dalam menjaga pergerakan rupiah, yaitu dikenal dengan triple intervention, baik di Domestic Non-Delivery Forward (DNDF), di pasar spot, sampai ke pasar Surat Berharga Negara (SBN). Jurus tersebut pun dikerahkan kali ini.
“BI telah dan akan selalu berada di pasar untuk menjaga stabilitas nilai tukar melalui instrumen triple intervention di Spot market, DNDF jual serta pembelian SBN yang dilakukan secara terukur baik jumlah atau sequence-nya, timely dengan tetap mengedepankan mekanisme pasar sesuai fundamentalnya,” paparnya.