Lagi-lagi beberapa artis terlibat dalam prostitusi diamankan oleh aparat penegak hukum dari Polri. Kali ini artis dan selebgram berinisial TS dan MA yang menjajakan dirinya untuk satu pria hidung belang untuk ayanan threesome dengan tarif Rp 110 juta. Dari laporan penyidik di Polres Jakarta Utara, yang dijadikan tersangka adalah mucikarinya. Seperti yang sudah-sudh, para artis yang menjajakan layanan seks komersial ini akan bebas, karena diposisikan sebegai korban dalam UU TPPO.
Pelaku prostitusi ini, baik si artis yang biasanya menjadi saksi korban dan pembeli akan bebas. Tinggal si mucikari saja yang kemudian akan diproses karena melanggar UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO). Jika karena ada tekanan dari masyarakat maka penyidik akan mencari celah lain supaya para artis ini bisa dipenjara. Misalnya memeriksa transaksi elektroniknya, misal kemudian si saksi korban ini mentransmisikan materi pornografi maka bisa juga diproses hukum karena melanggar UU No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE dan UU No. 44 Tahun 2008 Pornografi. Pemakai jasa yang kemudian bebas melenggang. Jadi di beberapa kasus, para penjaja seks komersial ini ketika ditahan, bukan karena postitusinya, tapi karena kasus lain yang dicari penyidik. Tidak pernah ada satupun artis yang dipenjara karena prostitusi.
Namun jika tidak ada pelanggaran terhadap UU ITE dan UU Pornografi, maka penyidik juga akan bingung, mau dikenai pasal apa? Karena memang di UU kita termasuk di KUHP belum ada yang mengatur tentang prostitusi ini. Tidak bisa dipaksakan. Padahal, para pelacur kelas atas ini jelas-jelas bukan sebagai korban seperti pada UU TPPO. Mereka ini dengan sadar, jelas, dan niat memang menjajakan layanan seks secara komersial.
Para pelacur ini sekarang jarang yang melakukan jual diri lewat calo, tetapi secara online lewat jejaring sosial seperti Twitter, Facebook, Michat, BiChat, Line dan aplikasi percakapan seperti Whatsapp dan Telegram. Lalu, karena tidak ada mucikarinya, apa yang bisa kita lakukan? Ketika ada mucikarinya mereka ditetapkan sebagai korban, lalu jika tidak ada mucikarinya, korban apa dan korban siapa mereka? Jika tidak juga mentransmisikan materi pornografi, akan memakai pasal apa? Beberapa penyidik dari PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) Polres yang saya ajak diskusi menyerah. Lalu ratusan pelacur online ini akan kita apakan?
Pernah saya ikut razia dan mendapati pelacur online ini di sebuah apartemen sampai lebih dari 20 orang. Karena tidak ada UU yang sesuai buat menjerat mereka maka hanya kami panggil orang tuanya, kemudian kita kembalikan kepada mereka. Tapi beberapa hari kemudian mereka sudah menjajakan dirinya lagi. Kita tangkap lagi, kembalikan ke orang tuanya, dan jualan lagi. Mereka ini seperti tau saja bahwa kita tidak bisa menangkap mereka, karena tidak ada pasal yang bisa menjerat mereka. Ini sangat mengesalkan. Saya kembali ajak teman-teman dari PPA, tapi tetap tidak ada mucikarinya, juga tidak ada anak dibawah umur, jadi mereka menyerah lagi.
Dalam kesempatan lain suatu ketika kami melakukan razia dan menangkap beberapa pelacur dengan pemakai jasanya. Pelacur dan pemakai jasa ini menantang kami. Pasal apa dan UU apa yang mereka langgar? Dan mereka menelpon pengacaranya. Teman-teman penyidik bingung. Perselingkuhan? Ini delik aduan, dan harus ada yang melaporkan dan hanya suami atau istri atau anak yang bisa melapor. UU TPPO? Tidak ada mucikarinya. Di Handphone mereka juga tidak ada transaksi elektronik meteri pornografi. Tapi, di handphone mereka ada percakapan jual beli jasa seks ini seharga dua juta. Tapi tetap tidak ada pasal yang dilanggar.
Sampai kemudian Pengacara mereka datang dan mengancam akan menuntut kami, teman-teman penyidik hampir saja membebaskan mereka. Hal semacam ini, belum adanya Undang-Undang yang mengatur tentang prostitusi di negara kita yang membuat para pekerja seks komersial ini, walaupun dari kalangan artis, bebas melenggang, dan kemudian berjualan lagi.
Untungnya, waktu itu saya ikut melakukan razia di DKI Jakarta, jadi segera saja teman saya telpon Polisi Pamong Praja untuk mengirim anggotanya beserta PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) dari Satpol PP. Kebetulan DKI punya Perda DKI Nomor 8 tahun 2007 Tentang Ketertiban Umum. Dalam Pasal 42 ayat 2, Perda DKI 8/2007 ini setiap orang dilarang: a. menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain untuk menjadi penjaja seks komersial; b. menjadi penjaja seks komersial; c. memakai jasa penjaja seks komersial. Sedangkan Sanksi Pidana dalam Pasal 61 ayat 2 Perda DKI 8/2007 Ancaman dari pelanggaran Perda ini adalah pidana kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp 500 ribu dan paling banyak Rp 30 juta. Selesai. Jika memakai Perda ini maka jika ada kasus prostitusi maka semua yang terlibat akan bisa kena sanksi, baik mucikari, pelacurnya, dan juga pemakainya sekaligus.
Karena memakai Perda, dan yang berhak menegakkan Perda adalah Satpol PP maka beberapa PSK ini, juga pemakai jasanya kami serahkan ke PPNS dari Satpol PP untuk disidang dan dikenai sanksi maksimal. Mereka kemudian mendapat denda dan menjalani pidana kurungan selama 90 hari di Panti Sosial. Ini cukup memuaskan, daripada tidak bisa dijerat sama sekali. Belum lagi sanksi sosial dari pemberitaan, dan jika keluarganya tau.
Hal ini, yang kami lakukan terhadap para PSK, dan pemakai jasanya, seharunya bisa dipakai oleh penyidik dari Polri. Serahkan ke Satpol PP dan pakai Perda DKI 8/2007. Jika memang ada pelanggaran dari UU lain, baru bisa diproses oleh penyidik dari Kepolisian. Jadi tidak mencari-cari kesalahan lagi supaya mereka bisa dipenjara karena tekanan publik atau tekanan netizen.
Salam – Ethan Hunt KW
penulis : ahmad fauzi mahasiswa stisip widuri