Pada 31 Januari 2021 lalu, di media ini saya menulis artikel berjudul Pintu Pencitraan 2024 Telah Dibuka. Palagan bagi para tokoh yang akan berlaga di Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024 secara tak langsung sudah terbuka. Para bakal kandidat pun sudah saling berebut panggung. Ada yang pasang baliho, iklan di media massa, juga kian aktif di media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, atau Youtube. Tujuannya adalah untuk mengatrol popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas.
Meski sebenarnya 2024 masih tiga tahun lagi, namun para politikus itu merasa perlu bergegas. Maklum sudah ada sejumlah lembaga survei yang merilis hasil sigi mereka terkait elektabilitas serta popularitas bakal Capres dan Cawapres 2024. Nama Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Sandiaga Uno, Ridwan Kamil, Prabowo Subianto, dan Tri Rismaharini selalu bersaing dalam papan atas hasil survei.
Terakhir, misalnya hasil survei Litbang Kompas yang dipublikasikan Senin, 18 Oktober 2021 menunjukkan Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto memiliki elektabilitas tertinggi sebagai Capres 2024, yakni dengan 13,9 persen. Disusul Anies Baswedan (9,6 persen), Ridwan Kamil (5,1 persen), Tri Rismaharini ( 4,9 persen), dan Sandiaga Uno (4,6 persen0). Sebagai pejabat publik, nama-nama tersebut diuntungkan karena memiliki ‘panggung’ yang lebih luas.
Kesempatan mereka untuk mendapatkan publikasi media massa misalnya, sangat terbuka. Bagi politikus, peran media massa sangatlah penting untuk meningkatkan popularitas, akseptabilitas dan elektabilitas. Di Indonesia, selain media massa, media sosial juga digunakan oleh para politikus. Diakui atau tidak penggunaan media sosial tersebut telah berdampak pada popularitas seorang politikus. Mari kita lihat.
Nama-nama politikus yang berada di papan atas lembaga survei hampir semuanya memiliki dan aktif di media sosial, baik dioperasikan sendiri atau admin. Lihat misalnya Ganjar Pranowo, yang namanya dalam beberapa survei selalu berada di peringkat satu.
Ganjar Pranowo memiliki akun Twitter @ganjarpranowo yang sudah bertanda centang biru atau terverifikasi keasliannya. Tertulis dalam bio-nya, Ganjar aktif menggunakan Twitter sejak Januari 2010 atau saat dia masih menjadi anggota DPR dan belum terpilih sebagai Gubernur Jawa Tengah. Sampai Jumat, 22 Oktober 2021 tercatat pengikut Ganjar di Twitter mencapai 2,1 juta. Ganjar juga mengikuti sebanyak 3.672 akun Twitter.
Selain Twitter, Ganjar juga aktif menggunakan Instagram dengan akun @ganjar_pranowo. Hingga, Jumat, 22 Oktober 2021 terlihat ada 3,9 juta akun yang mengikuti akun Instagram Ganjar Pranowo. Ada pun materi yang sudah di-posting Ganjar di Instagram sebanyak 4.838 kiriman.
Sejak 21 Maret 2018, Ganjar juga aktif menggunakan Youtube yang hingga kini sudah memiliki 1,13 juta subscriber. Semua video yang di-upload Ganjar ke akun Youtube-nya sudah ditonton sebanyak 112.958.099 kali. Apa yang dilakukan oleh Ganjar Pranowo sejalan dengan konsep “logika media jaringan” yang pernah diperkenalkan oleh Klinger & Svensson pada 2014. Menurut mereka, konsep logika media jaringan adalah kerangka kerja alternatif untuk membuat konsep dan secara empiris menyelidiki penggunaan media sosial oleh politikus. Konsep ini menjelaskan bagaimana sebuah konten diproduksi dan kemudian didistribusikan di media.
Media seperti yang dituliskan oleh Chadwick (2013) saat ini telah mengalami perubahan landskap. Media massa sudah masuk dalam sistem “hibrida” yang ditandai dengan munculnya media online yang melengkapi media tradisional. Evelien D’heer dalam sebuah penelitiannya menuliskan bahwa para politikus menggunakan media sosial untuk mendapatkan perhatian dari wartawan, dan mendapatkan liputan media massa sehingga memperoleh dukungan massa.
Namun dalam penelusuran saya, tak banyak konten dari akun media sosial milik Ganjar yang diangkat oleh media massa menjadi sebuah berita. Dan, Ganjar sepertinya tak risau, apakah konten-konten di akun media sosialnya akan diangkat menjadi berita oleh media mainstream ataukah tidak. Dia tetap konsisten untuk rutin mengisi konten dan yakin bahwa pada saatnya peran media sosial bisa menggantikan media massa mainstream.
Bahkan dari pengamatan saya, melalui akun media sosialnya Ganjar seringkali merespons atau menanggapi keluhan masyarakat Jawa Tengah. Di sinilah kemudian terjadi diskusi dua arah secara langsung antara Ganjar dengan warga. Apalagi di bio akun media sosialnya Ganjar secara tegas menulis, “Tuanku ya Rakyat, Gubernur cuma Mandat.” Slogan ini membuat warga tak segan untuk menuliskan pen
dapat atau keluhannya terkait pemerintahan Provinsi Jawa Tengah di akun media sosial Ganjar Pranowo. Hal seperti ini belum tentu bisa dilakukan ketika Ganjar justru tampil di media mainstream.
Fenomena pada akun media sosial Ganjar Pranowo, juga politikus lainnya, sejalan dengan yang dikatakan Stromer dan Galley dalam bukunya, On-line Interaction and Why Candidates Avoid It. Menurut mereka kehadiran internet telah membuka ruang publik baru untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi. Kehadiran internet telah memungkinkan diskusi, musyawarah, juga kampanye dan propaganda dilakukan tanpa bertemu fisik.
Dalam sebuah artikelnya yang berjudul What Media Logics Can Tell Us About the Internet, Ulrike Klinger dan Jakob Svensson mengatakan bahwa kehadiran internet telah mengubah landskap media dan mengubah model komunikasi sehingga mempengaruhi perilaku politikus. Di era digital seperti sekarang ini politikus mengubah medium komunikasinya dari konvensional ke media sosial. Agar sebuah konten di media sosialnya mendapat perhatian dari media massa, Kepplinger (2002) mengatakan bahwa seorang politikus harus menganut gaya dramatisasi, suara yang kritis dan menggigit, visualisasi yang menarik serta menghibur.
Ganjar sepertinya mengakui dan sadar betul dengan kebenaran pendapat Kepplinger tersebut. Dia mencoba mengatasi hal tersebut dengan konsistensi dalam membuat konten dan merespons setiap keluhan masyarakat di akun media sosialnya. Bagi Ganjar tak hanya media mainstream, media sosial kini sudah menjadi salah satu kekuatan sosial dalam masyarakat. Logika media harus dipahami sebagai peran media dalam proses pembentuk dan pengakuan realitas sosial.
Altheide (1979) menyebut bahwa logika media bersifat interaktif, berdasarkan pendapat sejumlah audiens, bukan lagi pada hubungan satu arah di mana media mendikte definisi dari realitas seperti praktik media mainstream saat ini. Kehadiran media sosial telah mengubah cara informasi disebarluaskan, yang memperkenalkan logika distribusi yang berbeda. Di era digital produksi informasi tak lagi hanya bisa dilakukan oleh profesional, seperti jurnalis lalu disebarkan oleh media mainstream.
Masyarakat, pejabat, termasuk Ganjar Pranowo juga bisa memproduksi, menyaring, mengedit, dan meneruskan informasi ke orang lain melalui akun media sosial mereka. Mengacu pada pendapat Van Dijck dan Poell (2013) ada empat prinsip dasar logika media sosial, yakni programabilitas, popularitas, konektivitas, dan datafikasi. Empat prinsip ini harus diperhatikan oleh seorang politikus yang ingin menggunakan media sosial untuk menaikkan popularitas.
Namun, media sosial bukan satu-satunya platform untuk mendulang popularitas, akseptabilitas, maupun elektabilitas. Ada sarana lain yang juga biasa digunakan, seperti memasang baliho, iklan di media massa, atau tampil di media massa.
Erwin Dariyanto mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia
Disarikan oleh P.