Banjir di beberapa wilayah cukup meresahkan di tengah pandemi. Salah satunya kekhawatiran tentang virus corona tersebar melalui air banjir.
Benarkah? Dalam akun media sosial resminya, BMKG juga sudah memperingatkan akan datangnya curah hujan dengan intensitas tinggi di musim pancaroba. Mereka mengimbau agar warga meningkatkan kewaspadaan akan datangnya banjir dan genangan. Kondisi ini cukup meresahkan warga, terlebih di masa pandemi virus corona. Pertanyaan pun muncul: dapatkah virus corona tersebar melalui air banjir tersebut?
Anda harus tahu berbagai cara penularan virus corona.
WHO melalui laman resminya mengungkapkan ada dua jalur utama penularan COVID-19, yakni droplet penderita dan kontak langsung dengan orang yang terinfeksi. Droplet orang yang terinfeksi dilepaskan dari mulut atau hidung ketika batuk, bersin, berbicara atau bernyanyi. Itulah sebabnya, orang yang melakukan kontak dekat (dalam jarak 1 meter) dengan penderita dapat tertular COVID-19, ketika butiran mini itu masuk ke mulut, hidung, atau mata. Di samping itu, potensi penyebaran virus lainnya, termasuk pada air, penting diketahui. Pasalnya, sekitar tahun 2003, epidemi SAR
dikaitkan dengan air dan air limbah di perumahan di Hong Kong.
Virus ini diketahui masih satu kelompok dengan COVID-19 alias SARS-COV-2. Ketika itu, lebih dari 300 orang diketahui ikut terjangkit akibat sistem pembuangan limbah yang rusak. Virus tersebar dari kotoran pasien SARS hingga 3 minggu setelah infeksi. Karena itu pula, muncul pertanyaan apakah air banjir yang kotor dapat membawa virus corona sekaligus menularkannya.
“Sejauh ini, WHO menyatakan belum terbukti secara ilmiah kalau COVID-19 ditularkan melalui saluran air dan air kotor. Selain itu, ada penelitian juga mengungkap kalau virus corona langsung mati di air pembuangan,” ujar dr. Astrid Wulan Kusumoastuti.
Penelitian tersebut membandingkan kelangsungan hidup coronavirus dan virus polio 1 di dalam air ledeng dan air limbah. Hasilnya, virus corona jauh lebih sensitif terhadap suhu dibandingkan virus polio 1. Ketahanan hidup virus polio 1 juga jauh melampaui COVID-19.
Peneliti berpendapat, hal ini mungkin disebabkan oleh adanya lapisan atau selubung terluar sel pada virus corona. Biasanya, sifat virus yang memiliki lapisan tersebut tidak bertahan hidup lama. Apalagi ketika lapisannya rusak. Misalnya, saat terkena sabun atau air limbah. Itu sebabnya, coronavirus tidak bisa bertahan hidup di air kotor, termasuk air banjir.
Virus corona diketahui mati sangat cepat di air limbah, dengan penurunan hidup 99,9 persen dalam 2-3 hari. Studi ini juga menunjukkan, penularan virus corona akan lebih sedikit daripada enterovirus (kelompok virus RNA, antara lain penyebab polio dan hepatitis A) di lingkungan berair. Menurut peneliti, hal itu karena virus corona lebih cepat dinonaktifkan di air dan air limbah pada suhu kamar. “Virus itu pada dasarnya membutuhkan makhluk hidup sebagai inang. Kalaupun virus bisa hidup di luar tubuh manusia, ada jangka waktu tertentu sampai virus akhirnya mati. Bisa jadi itu penyebabnya juga,” dr. Astrid menambahkan. Memasuki musim hujan alias di masa pancaroba ini, beragam gangguan kesehatan dapat mengancam, bukan hanya virus corona. Untuk itu, ada sejumlah tips di musim pancaroba agar terhindar dari infeksi virus corona dan kuman penyebab penyakit saat banjir lainnya. Yang pertama, menurut dr. Astrid, adalah dengan tetap di rumah saja.
“Alasannya, kalau Anda di rumah saja, sistem imunitas turun tidak akan terlalu berpengaruh,” kata dia. Kalaupun harus keluar rumah, dia menekankan untuk tertib melakukan protokol kesehatan dengan benar. “Saat Anda keluar, pakai masker yang benar, sering-sering cuci tangan, nggak usah pegang-pegang sembarangan, dan jangan ngobrol beramai-ramai,” dia menegaskan. Jaga juga daya tahan tubuh Anda seoptimal mungkin. Misalnya, makan serta minum yang baik dan cukup, istirahat teratur, olahraga, dan minum suplemen jika dirasa perlu. Itu tips kalau menghadapi banjir dan musim hujan di rumah.
Bagaimana jika kondisi banjir mengharuskan Anda tinggal sementara di pengungsian? “Kalau di tempat pengungsian, safety measures (langkah pengamanan) yang diperlukan akan sangat ekstrem dan berbeda. Perlakuannya bisa seperti di penjara karena memang ada keterbatasan dan keharusan orang untuk berdesakan,” jawab Dr. Astrid.