Sedianya masa periode kepala daerah adalah 5 tahun, dimana pemilihan kepala daerah terakhir diadakan pada tahun 2017 dan sebagian daerah 2018 maka idealnya pelaksanaan Pilkada selanjutnya adalah 2022 dan 2023. namun seperti diketahui di dalam Undang – Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada, bahwa Pilkada tahun 2022 dan 2023 akan dilakukan serentak di tahun 2024.
Namun saat ini timbulnya ide normalisasi (kembali ke peraturan awal) yang mengkreasi polemik pro dan kontra di DPR untuk Draf Revisi UU Pemilu. “ Jadi yang semula di rencanakan Pilkada serentak 2024, kita normalkan 2022 sebagai hasi pilkada 2017 dan 2023 untuk hasil pilkada 2018, dan seterusnya hingga kalaupun mau serentak di 2027,” kata Saan Mustopa – Wakil Ketua Komisi II DPR.
Beberapa fraksi yang menolak pelaksanaan Pilkada di 2022 dan 2023 diantaranya adalah PDIP dan PPP. “Saya pikir di draf RUU Pemlu belum relevan untuk di ubah,” kata politikus PPP – urhayati Monoarfa. Demikian Ketua DPP PDI Perjuangan – Djarot Syaiful Hidayat berpendapat bahwa pilkada serentak tetap harus dilaksanakan di tahun 2024 bersamaan dengan pemilihan legislatif dan presiden. Sementara partai yang mendukung normalisasi adalah Nasdem, Golkar, dan Demokrat.
Polemik di DPR berkaitan Draf Revisi UU Pemilu ini tidak hanya berkaitan tahun pelaksanaan namun juga pelarangan eks anggota Hizbut Tahir Indonesia (HTI) untuk mencalonkan diri menjadi peserta pemilihan pemilu nasional dan daaerah. Sama seperti isu tahun pelaksanaan, pelarangan ini juga alami pro dan kontra. Junimart Girsang – anggota komisi II DPR dari PDIP mengaku sangat tidak setuju. “Setiap orang berhak maju dan menjadi peserta pemilu sepanjang pengadilan tidak mencabut hak politiknya”. Ujar nya.
Pendapat berbeda diutarakan oleh Luqman Hakim dari partai PKB, Menurut Luqman HTI pantas disamakan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). “Tujuan politik HTI yakni menciptakan kekuasaan politik internasional yang dapat membahayakan kekokohan bangsa, itu sama dengan PKI”, katanya.
Rupanya tidak hanya 2 poin di atas yang saat ini sedang alami pro kontra, namun juga di masalahkan ambang batas presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen. Angka tersebut tak berubah dari ketentuan UU No. 7 tahun 2107 tentang pemilu, namun angka ini ditolak beberapa partai, salah satunya oleh Herzaky Mahendra – Kepala Badan Komunkasi Strategis DPP Partai Demokrat. Menurutnya penurunan presidential threshold menjadi 0 persen akan membuat masyarakat memiliki banyak pilihan calon pemimpin. Lain lagi dengan partai Gerindra. “Partai Gerindra akan mengikuti berapa pun ambang batas yang diputuskan”, kata Sufmi Dasco Ahmad.
Penulis : Aris Waruwu – Mahasiswa STISIP Widuri