Hachiko atau dalam aksara Jepang (ハチ公), adalah seekor anjing jantan berjenis Akita Inu yang lahir pada 10 November 1923 – 8 Maret 1935 di kota Odate, Prefektur Akita.
Hachiko sendiri memiliki arti kesetiaan. Masyarakat Jepang memberi julukan kepada Hachiko yaitu (忠犬ハチ公 /Chūken Hachikō) yang jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia Hachiko Anjing yang Setia.
Hachiko lahir di kota Odate. Lewat seorang perantara Hachiko dipungut oleh keluarga Ueno yang memang sedang ingin memelihara anjing berjenis Akita Inu. Hachiko lalu dimasukkan kedalam anyaman jerami tempat beras lalu diangkut kedalam kereta dengan tujuan Tokyo ke stasiun tempat kediaman keluarga Hidesaburo Ueno.
Tokyo pada tahun 1927-an sedang dalam fase perkembangan, kereta api yang biasa digunakan pada saat itu berkembang menjadi kereta bawah tanah yang memberi efisiensi lebih bagi rakyat Jepang. Selain itu pembukaan bandara Tokyo di Haneda juga mempermudah mobilitas rakyat Jepang pada saat itu.
Hidesaburo Ueno adalah seorang ilmuwan pertanian terkenal di Jepang. Beliau terkenal sebagai tangan kedua dari pemilik Hachi atau Hachiko,dari pemilik sebelumnya Giichi Saito dari kota Odate.
Hidesaburo Ueno sendiri pernah menuntut ilmu di salah satu perguruan tinggi ternama di Jepang yaitu Universitas Tokyo. Setelah lulus dari perguruan tinggi tersebut beliau bekerja sebagai salah satu peneliti ternama di Universitas Tokyo hingga sampai akhir hidupnya.
Profesor Ueno adalah seorang pecinta anjing. Sebelum memelihara Hachi, Profesor Ueno pernah beberapa kali memelihara anjing Akita Inu, tetapi semuanya tidak berumur panjang. Di rumah keluarga Ueno yang berdekatan dengan Stasiun Shibuya, Hachi dipelihara bersama dua ekor anjing lain, S dan John. Hubungan anjing dan majikannya pun terbentuk karena ada timbal balik rasa kasih sayang yang murni dari kedua belah pihak.
Ketika Profesor Ueno berangkat bekerja, Hachi selalu mengantar kepergian majikannya di pintu rumah atau dari depan pintu gerbang. Di pagi hari, bersama S dan John, Hachi kadang-kadang mengantar majikannya hingga ke Stasiun Shibuya. Di petang hari, Hachi kembali datang ke stasiun untuk menjemput. Kegiatan tersebut dilakukan Hachiko sebagai bentuk rasa kasih sayangnya kepada majikannya, hingga menjadi sebuah kebiasaan.
Warga masyarakat menganggap Hachiko sebagai lambang kesetian antara mahluk hidup. Pedoman tersebut yang membuat rakyat Jepang setia terhadap negara dan antar warganya, yang membentuk Jepang sebagai negara yang memiliki nilai solidaritas yang tinggi.
Hubungan Hachi dan pemiliknya membuat warga Jepang hingga kini memiliki nilai solidaritas yang tidak bisa diremehkan. Bagaimana tidak warga Jepang senang sekali untuk membantu sesamanya mahluk hidup dan saling menghargai satu dengan yang lain.
Nilai Makoto (Ketulusan) adalah salah satu nilai yang ditanamkan Profesor Ueno. Tidak bisa dipungkiri lagi rasa tulusnya merawat Hachi dan anjing lainnya tidak bisa dianggap remeh.
Hachiko merupakan anjing berjenis Akita Inu ke sekian yang ia pelihara, tetapi dari Akita Inu lainnya Hachi memiliki ke istimewaan karena bisa hidup hingga 12 tahun, sedangkan anjing Akita Inu milik Profesor Ueno yang lain hanya bisa bertahan hidup maksimal hingga 9 tahun.
Ketika Profesor Ueno berangkat bekerja, Hachi selalu mengantar kepergian majikannya di pintu rumah atau dari depan pintu gerbang. Di pagi hari, bersama S dan John, Hachi kadang-kadang mengantar majikannya hingga ke Stasiun Shibuya. Di petang hari, Hachi kembali datang ke stasiun untuk menjemput.
Profesor Ueno sangat tidak keberatan ketika memelihara Hachi, karena beliau adalah pecinta anjing yang dimana perhatian lebihnya pasti kepada anjing- anjingnya tersebut. Beliau tidak pernah merasakan duka ketika memelihara Hachi karena Hachi merupakan salah satu alasan untuk beliau tetap senang di setiap harinya.
Hachiko memang tidak sempat dikawinkan oleh keluarga Ueno karena pada saat itu mereka berpikir bahwa sudah cukup untuk memelihara 3 anjing. Selain itu juga pada saat itu anjing berjenis Akita Inu ini merupakan salah satu anjing langka.
Pada 21 Mei 1925, seusai mengikuti rapat di Universitas Tokyo, Profesor Ueno mendadak meninggal dunia. Karena kebiasaannya Hachi terus menunggu majikannya yang tak kunjung pulang, dan tidak mau makan selama 3 hari. Menjelang hari pemakaman Profesor Ueno, upacara tsuya (jaga malam untuk orang meninggal) dilangsungkan pada malam hari 25 Mei 1925. Hachi masih tidak mengerti Profesor Ueno sudah meninggal. Ditemani John dan S, Hachi pergi ke stasiun untuk menjemput majikannya.
Pada tahun 1932, kisah Hachi menunggu majikannya di stasiun mengundang perhatian Hirokichi Saito dari Asosiasi Pelestarian Anjing Jepang. Prihatin atas perlakuan kasar yang sering dialami Hachi di stasiun, Saito menulis kisah sedih tentang Hachi. Artikel tersebut dikirimkannya ke harian Tokyo Asahi Shimbun, dan dimuat dengan judul Itoshiya roken monogatari (“Kisah Anjing Tua yang Tercinta”). Setelah itu sekitar tahun 1933, kenalan Saito, seorang pematung bernama Teru Ando tersentuh dengan kisah Hachiko. Ando ingin membuat patung Hachiko.
Belajar dari hachiko adalah belajar tentang sebuah kesetiaan yang tak pernah berujung. Hachiko menemani kala rasa jenuh muncul, Hachiko memberi arti di kala kosa kata makna tak lagi mampu untuk mendefinisikan.
Lahir 10 November 1923 dari induk bernama Goma-go dan anjing jantan bernama Oshinai-go, namanya sewaktu kecil adalah Hachi. Pemiliknya adalah keluarga Giichi Saito dari kota Odate. Lewat seorang perantara, Hachi dipungut oleh keluarga Ueno yang ingin memelihara anjing jenis Akita Inu.
Film Hachiko Monogatari karya sutradara Seijiro Koyama mulai diputar di Jepang, Oktober 1987. Pada bulan berikutnya diresmikan patung Hachiko di kota kelahirannya, Odate. Monumen peringatan ulang tahun Hachiko ke-80 didirikan 12 Oktober 2003 di lokasi rumah kelahiran Hachiko di Odate. Sebuah drama spesial tentang Hachiko ditayangkan jaringan televisi Nippon Television pada tahun 2006. Drama sepanjang dua jam tersebut diberi judul Densetsu no Akitaken Hachi (Legenda Hachi si Anjing Akita). Pada tahun 2009 film Hachiko: A Dog’s Story karya sutradara Lasse Hallström mulai diputar dan dibintangi oleh Richard Gere dan Joan Allen.
Pada 8 Juli 1935, patung Hachiko didirikan di kota kelahiran Hachiko di Odate. tepatnya di depan Stasiun Odate. Patung tersebut dibuat serupa dengan patung Hachiko di Shibuya. Dua tahun berikutnya (1937), kisah Hachiko dimasukkan ke dalam buku pendidikan moral untuk murid kelas 2 sekolah rakyat di Jepang dengan judul On o wasureruna (Balas Budi Jangan Dilupakan).
Hachi memiliki kasih sayang dan ketulusan yang murni, terbentuk dari timbal balik yang diberikan oleh Profesor Ueno. Kasih sayang dan ketulusan Hachi melebihi manusia yang memiliki rasa dan pikiran yang lebih. Kisah Hachi tersebut akhirnya di jadikan pedoman hidup warga Jepang pada saat itu.
Hachiko tidak memiliki nafsu makan ketika ia belum bertemu dengan pemiliknya yang pada saat itu sudah dikabarkan bahwa Profesor Ueno sudah meninggal dunia. Hachi sudah tidak makan 3 hari pada saat itu dan tetap menunggu di depan stasiun.
Pada pukul 06.00 pagi waktu setempat, tanggal 8 Maret 1935, Hachiko, 12 tahun, ditemukan sudah tidak bernyawa di jalan dekat Jembatan Inari, Sungai Shibuya. Tempat tersebut berada di sisi lain Stasiun Shibuya. Hachiko biasanya tidak pernah pergi ke sana. Berdasarkan otopsi diketahui penyebab kematiannya adalah filariasis.
Upacara pemakaman Hachiko dihadiri orang banyak di Stasiun Shibuya, termasuk istri dari Profesor Ueno, dan penduduk setempat. Biksu dari Myoyu-ji diundang untuk membacakan sutra. Upacara pemakaman Hachiko berlangsung seperti layaknya upacara pemakaman manusia. Hachiko dimakamkan di samping makam Profesor Ueno di Pemakaman Aoyama.
Hubungan antara Hachiko dan Profesor Ueno ini tidak bisa dipisahkan hingga akhir hidupnya. Penduduk setempat juga terpukul karena tidak lagi melihat kemesraan Profesor Ueno dan Hachi, dan mereka semua berharap hubungan mereka tidak berhenti di dunia ini saja tetapi tetap berlanjut di keabadian nanti.
Kisah sedihnya Hachiko adalah ketika dia terlalu lama menunggu di stasiun dia diperlakukan tidak baik oleh para pengungjung di stasiun karena menganggap anjing tersebut anjing kampung yang hanya mencari makan. Beberapa kali diusir pun Hachiko tetap balik ke posisi biasanya dia menunggu majikannya.
Dikalangan orang terdekatnya yang pernah mengasuh Hachiko merupakan anjing yang sangat ceria, senang bermain tetapi tanpa disadari banyak juga lahan yang dirusak Hachi untuk tempat mainnnya. Selain playable Hachi juga salah satu anjing yang sangat protektif kepada majikannya.
Setelah kepergian Hachi karena penyakit filariasis yang dideritanya, orang terdekat dan para pengunjung stasiun merasa kehilangan sesosok Hachi. Bagaimana tidak pada acara pemakaman Hachi, banyak sekali orang yang datang untuk memberikan penghormatan terkahir, dalam artian ketika ada orang yang membenci Hachi tetapi tidak sebanyak orang yang mencintai Hachi.
Pesan yang bisa dipetik dari kisah Hachi adalah belajarlah arti kesetiaan agar kelak kesetiaan kita tidak mudah terpahat seperti kisah Hachiko. Karena kesetiaan pada dasarnya mudah sekali terpahat dengan hadirnya kemarahan, keegoisan,ketamakan, dll. Tugas kita adalah tetap belajar untuk memahami apa arti kesetiaan tersebut.
Ananda Agusta, Mahasiswa Stisip Widuri