Faktual.id
RAGAM INFO Traveling

METODE BARU BERLATIH MOUNTAINEERING

Dulu anak-anak yang masuk dalam organisasi Pecinta Alam, Kepanduan atau Pramuka, Palang Merah Remaja (PMR), Pasukan Pengibar Bendera, juga Resimen Mahasiswa itu dididik oleh ABRI. Dulu memang masih ABRI namanya, atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian. Sekarang namanya Tentara Nasional Indonesia atau TNI setelah Kepolisian lepas dari Institusi ini.

Dulu ABRI ini mendidik Sispala, Pramuka, PMR, Paskibra dan Menwa ini dengan disiplin militer yang tinggi. Udah seperti pendidikan masuk tentara saja. Mereka diajari baris berbaris, navigasi darat, longmarch, mencari jejak, membuat bivak, memasak, survival, PPGD, tali temali, kadang yang beruntung diajak terbang dan latihan penerjunan. Beberapa anggota Pramuka yang Penegak, juga Menwa kadang dikenalkan dengan senjata api, juga belajar menembak.Memang kemudian hasilnya mental anak didiknya menjadi kuat, disiplin tinggi, nasionalis, dan tersistem. Kemudian ABRI ini sekalian mengkader anak-anak sekolah ini, setelah lulus biasanya rangking 10 besar dari anak-anak ini ditawarin untuk masuk ABRI, ada yang lewat jalur Tamtama, Bintara atau yang super ya langsung ke Akademi.

Setelah ABRI mulai tidak melatih anak-anak lagi, kemudian para guru dan seniornya yang melatih para junior. Biasanya anggota baru sebelum pelantikan. Metodenya masih mengadobsi metode Militer ini. Disiplin tinggi jika saya tidak boleh menggunakan kata kejam. Termasuk hukumannya, misal push-up, merangkak di lumpur, jungkir balik, lari, dll. Kadang kita malam-malam direndam di kali atau danau yang airnya mungkin baru dituang dari kulkas. Dulu sebelum ikut Diksar atau latihan ini, kita tidak boleh naik gunung, karena dianggap belum cukup ilmu dan mentalnya. Dan memang kami tidak berani dan tidak akan naik gunung sebelum ikut Diksar ini. Celakanya, makin kesini, kadang senior yang pernah jadi junior ini, beberapa terlalu keras dan kebablasan memberi hukuman ke juniornya. Beberapa juga ngawur, mereka tidak menscreening calon siswa juniornya. Tidak membaca kemampuan anggota barunya, jadi ketika di push melewati batas, banyak yang pingsan, celaka, ada yang sampai cacat, juga ada (dan banyak) yang kemudian meninggal dunia.

Kasus kebablasan dan metode “Balas Demdan” oleh para junior ini yang kemudian ditakuti oleh calon anggota baru Pramuka, Sispala dan kawan-kawannya ini. Bahkan orang tua pun melarang anak-anaknya untuk ikut Diksar atau mereka sering bilang “Ospek”. Takut anaknya celaka atau mati diospek. Akhirnya, banyak anak-anak yang ikut Mapala, Sispala atau Organisasi Pecinta Alam ini yang tidak mau ikut Diksar. Akhirnya mereka-mereka ini tidak mendapatkan ilmu mountaineering, asal naik gunung saja, dan banyak yang celaka. Bahkan di 2019 dan 2020 kasus kecelakaan sampai meninggal di gunung didominasi oleh hal sepele yang sebenarnya bisa diantisipasi, “Hipotermia”.

Dengan rendahnya tingkat anak-anak pendaki gunung ikut Diksar ini, sudah sepatutnya ada metode baru untuk menyampaikan ilmu mountaineering ke para pemula di kegiatan luar ruang. Harus dibuat metode yang menyenangkan tanpa rasa ketakutan diospek seniornya. Kebanyakan dari mereka akhirnya belajar dengan mencari materi di dunia maya dengan memanfaatkan Google. Memang secara teori mereka akan dapat semua ilmu dari bantuan Google. Tapi karena tidak berlatih dan terlatih, akhirnya semua ilmu dari Google ini lenyap ketika di lapangan, terutama ketika terserang “Panic Syndrome”.

Beberapa kali saya lihat, beberapa organisasi kegiatan luar ruang ketika membuka recruitment anggota baru dan melaksanakan Diklatsar, minim peserta. Kemudian beberapa kali kita membuat “Education Camp”, 3 hari 2 malam. Ya camping aja, tapi semua peserta wajib membawa perlengkapan pendakian standar, termasuk perlengkapan survival. Campingnya juga di pinggiran hutan, deket air terjun, tidak naik gunung. Di sela-sela camping, di sekeliling api unggun kita sisipi materi mountaineering, dari Navigasi Dara, tali temali, survival, dll. Malam hari ketika mau masak, semua pemantik api kita sita, kemudian kita ajari membuat api secara manual dengan berbagai cara. Kemudian logistik seharian kita sita, kita suruh nyari makanan di hutan, dengan kita kasih contoh terlebih dahulu, juga kita kenalkan tumbuhan dan serangga yang bisa dimakan. Hari berikutnya tenda kita sita, kita suruh bikin bivak alam, yang paling bagus kita kasih hadiah. Di lain waktu, satu orang kita suruh pura-pura hipotermia, kemudian kita ajarkan bagaimana cara penanganannya, kemudian semua kita suruh praktek. Lalu ada simulasi siapa yang jatuh, patah tulang, digigit ular, kena pacet, dll. Lalu satu hari lainnya, kita simulasi kondisi tersasar, satu tim bagian mencari tim yang tersasar. Apa saja yang harus mereka lakukan? Ini dikemas menjadi semacam permainan yang menarik dan menyenangkan. Tidak ada hukuman fisik. Memang ada beberapa hukuman, ketika survival, ketika tidak bisa membuat api ya tidak boleh merokok, membuat kopi dan makan makanan lezat. Hanya boleh minum air putih dan makan makanan mentah saja.

Education Camp ini kemudian akhir-akhir ini banyak diminati buat anak gunung yang tidak mau diospek. Memang secara mental mereka akan jauh daripada yang belajar lewat metode Diksar seperti yang dulu dengan pelatih dari ABRI itu. Tapi jika tidak membuat metode yang menyenangkan, maka generasi kekinian ini pada akhirnya tidak akan mendapat ilmu, dan akan ngawur saja nantinya ketika berkegiatan di luar ruang.

Tapi memang kita juga butuh generasi yang tangguh. Biasanya dari lulusan Eduction Camp ini kita tawari lagi, siapa yang mau berlatih ke level berikutnya, dengan metode disiplin tinggi dan ilmu yang lebih padat lagi. Biasanya level selanjutnya akan kita perdalam ilmu Survival ditambah SAR Hutan Gunung dan Water Rescue. Yang level ini, minimal kemudian bisa menjadi Rescuer buat generasi yang tidak mau belajar itu tadi. Akan ikut “Education Camp” atau mau ikut Diksar yang komplit, ini bebas, menjadi pilihan masing-masing. Yang jelas, harus ada opsi yang menyenangkan, supaya mereka mendapat ilmu dan bisa belajar. Para PA, Sispala, Mapala dan organisasi sejenis ini, sudah waktunya memberikan 2 opsi ini, supaya kembali banyak yangberminat untuk belajar. Untuk jadi wisatawan gunung, bolehlah sekedar ikut “EduCamp”.

Salam – Anggota Kopassus (Komando Pasukan Susah)

Related posts

Ini Kondisi Lahan Sampah di Pondok Betung Tangsel yang Dikeluhkan Warga

Tim Kontributor

Selain Fokus Ke Superbike Dan MotoGP, Sirkuit Mandalika Juga Berminat Gelar F1

Tim Kontributor

Syarat Baru Naik Kereta Api Mulai Diberlakukan, Banyak di Protes Mayarakat

penulis

Leave a Comment