Calon hakim agung Dwiarso Budi Santiarto menyatakan tidak ada mafia peradilan di Indonesia. Hakim penghukum Ahok itu juga menyatakan tidak setuju dengan istilah sunat atau diskon putusan.
“Mafia peradilan, sudah sering kita dengar. Kalau yang saya lihat di sini, kalau pun saya lihat, ada hakim, ada panitera yang kena hukuman disiplin. Ini istilahnya perorangan, bukan suatu kelompok yang disebutkan mafia tadi. Meski perorangan, perlu kita basmi. Ini melanggar hukum dan etika,” kata Dwiarso saat fit and proper test di DPR yang ditayangkan di YouTube, Senin (20/9/2021).
Dwiarso juga ditanya oleh anggota Komisi III DPR soal banyaknya putusan yang disunat atau didiskon di tingkat kasasi/PK. Namun Dwiarso menolak dengan istilah diskon atau sunat.
“Mengurangi dan memperberat pidana itu kewenangan judex factie atau pun judex juris. Yang sesuai fakta diturunkan, yang tidak sesuai diberatkan. Ada kalanya tingkat judex factie menyatakan terbukti pasal 2, tapi setelah di judex juris yang terbukti pasal 3, bisa mengoreksi meringankan pemidanaan,” tutur Dwiarso.
Dwiarso Budi Santiarto adalah ketua majelis hakim perkara penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan Jupriyadi sebagai anggota majelis kasus Ahok. Saat mengadili Ahok, Dwiarso adalah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) dan Jupriyadi adalah Wakil Ketua PN Jakut.
Setelah vonis Ahok, Dwiarso dipromosikan menjadi hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi (PT) Denpasar, sedangkan Jupriyadi menjadi Ketua PN Bandung. Saat ini, Dwiarso adalah Kepala Badan Pengawasan (Bawas) Mahkamah Agung (MA) dan Jupriyadi menjadi hakim pengawasan di Bawas MA. Lembaga Bawas bertugas mengawasi ribuan hakim dan belasan ribu aparat pengadilan.
Fit and Proper Test akan diikuti oleh 11 orang calon hakim agung. Berikut nama-nama 11 orang tersebut:
Kamar Pidana1. Aviantara, S.H., M.Hum. (Inspektur Wilayah I Badan Pengawasan Mahkamah Agung)
2. H. Dwiarso Budi Santiarto, S.H., M.Hum. (Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung)
3. Jupriyadi, S.H., M.Hum. (Hakim Tinggi Pengawasan pada Badan Pengawasan Mahkamah Agung)
4. Dr. Prim Haryadi, S.H., M.H. (Dirjen Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung)
5. Dr. Subiharta, S.H., M.Hum (Hakim Tinggi Pada Pengadilan Tinggi Bandung)
6. Suharto, S.H., M.Hum. (Panitera Muda Pidana Khusus pada Mahkamah Agung)
7. Suradi, S.H., S.Sos., M.H. (Hakim Tinggi Pengawas pada Badan Pengawasan Mahkamah Agung)
8. Yohanes Priyana, S.H., M.H. (Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Kupang)
amar Perdata9. Ennid Hasanuddin, S.H., C.N., M.H. (Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Banten)
10. Dr. H. Haswandi, S.H., M.Hum., M.M. (Panitera Muda Perdata Khusus Mahkamah Agung)
Kamar Militer11. Brigjen TNI Dr. Tama Ulinta Br Tarigan, S.H., M.Kn. (Wakil Kepala Pengadilan Militer Utama)
Seleksi Hakim Ad Hoc oleh KY
Sementara itu, mantan Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki menyatakan seleksi yang dilakukan untuk memilih hakim agung di seluruh dunia, merupakan kewenangan yang diberikan kepada KY. Demikian halnya di Indonesia, lahirnya KY tidak lepas dari keinginan untuk menjadikan seleksi hakim agung yang transparan dan akuntabel oleh KY.
“Selama ini, seleksi terhadap hakim ad hoc di Mahkamah Agung sudah berjalan dengan baik, transparan, dan akuntabel oleh Komisi Yudisial. Oleh karena itu, cukup aneh jika saat ini dipermasalahkan
. Jika kewenangan untuk menyeleksi hakim ad hoc diberikan kepada MA sendiri, maka dapat dipastikan menimbulkan konflik kepentingan, karena mereka sama-sama sebagai hakim di Mahkamah Agung,” tutur Suparman dalam sebuah diskusi daring.
Adapun menurut Prof Susi Dwi Harijanti, pengisian jabatan hakim memiliki peranan besar dalam menentukan kualitas suatu lembaga atau institusi peradilan. Oleh karena itu, dalam konteks ini kita membutuhkan proses seleksi yang transparan dan independen.
“Hakim agung dan hakim ad hoc pada prinsipnya sama saja, karena hak dan kewajiban mereka sama sebagai hakim di Mahkamah Agung. Oleh karena itu, tidak tepat jika proses seleksinya berbeda. Maka sudah tepat menjadi kewenangan Komisi Yudisial,” tutur Prof Susi.