Istilah sanering mungkin masih belum banyak didengar ataupun dipahami oleh masyarakat luas. Jadi apa itu kebijakan sanering? Simak penjelasan berikut ini.
Mengutip dari situs Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jumat (26/11/2021), sanering diartikan sebagai pemotongan daya beli masyarakat melalui pemangkasan nilai mata uang. Logikanya, dengan adanya sanering daya beli masyarakat menurun karena nilai uang yang dimiliki berkurang, sementara harga barang tetap normal.
Contoh sanering semisal uang Rp 10.000, kemudian diturunkan nilainya menjadi Rp 10. Jika sebelumnya harga sepotong roti itu Rp 10.000 per bungkus, setelah dilakukan sanering maka harga roti tersebut tetap sama, tapi kita mesti merogoh kocek berlipat ganda untuk bisa membeli roti tersebut.
Dengan demikian, secara otomatis daya beli masyarakat berpotensi mengalami penurunan secara drastis saat kebijakan sanering dijalankan. Kebijakan sanering umumnya hanya akan dilakukan oleh pemerintahan suatu negara bilamana perekonomian negaranya mengalami kenaikan harga-harga secara eksesif (hiper inflasi) dan memiliki uang beredar yang berlebih. Oleh karena situasi yang dapat dikatakan genting ini, sanering biasanya dilakukan secara tiba-tiba tanpa adanya masa transisi terlebih dahulu.
Di Indonesia, penerapan sanering pernah terjadi pada masa pemerintahan Sukarno (Orde Lama). Indonesia tercatat pernah tiga kali melakukan kebijakan sanering, yakni pada tahun 1950, 1959, dan 1965.
Kondisi perekonomian nasional saat itu dinilai sangat meresahkan. Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang sangat rendah, nilai investasi yang merosot, dan inflasi yang sangat tinggi telah menjadikan nilai rupiah anjlok.
Pemerintah kala itu pun menilai rupiah sudah tak lagi mencerminkan nilai riilnya sehingga sanering menjadi tak terelakkan. Pada waktu itu, kebijakan sanering ini terpaksa ditempuh untuk mencegah inflasi semakin tinggi, mengendalikan harga, meningkatkan nilai mata uang, dan memungut keuntungan tersembunyi dari perdagangan. Disarikan Oleh MSLP
Sumber