Meski diperdebatkan, SCTV (Surya Citra Televisi) akhirnya menayangkan Film Pengkhianatan G30S/PKI, Minggu 27 September 2020 pukul 12.00 WIB.
Film yang diangkat dari kisah nyata ini diproduksi tahun 1984, disutradarai dan ditulis oleh Arifin C Noer, diproduseri oleh G Dwipayana, dan dibintangi Amoroso Katamsi, Umar Kayam, dan Syubah Asa.
Film ini diproduksi selama dua tahun dengan anggaran sebesar Rp 800 juta, angka yang besar untuk saat itu.
Terhitung sejak lengsernya Presiden Soeharto pada Mei 1998, film ini dihentikan kewajiban penayangannya. Sehingga pada tanggal 30 September 1998, film yang disutradarai oleh Arifin C. Noer ini tidak lagi ditayangkan.
Hal ini lantaran beberapa kalangan masyarakat dan pihak TNI AU menganggap film itu tidak sesuai dengan kejadian sebenarnya. Bahkan beberapa adegan justru berlawanan dengan fakta sejarah.
Banyak yang mengkritik akurasi film G30S/PKI era Orde Baru. Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam pernah mengomentari akurasi sejarah dalam film itu.
Berikut adalah poin penting akurasi film tersebut.
1.Penyiksaan para jenderal
Di film itu, ada adegan sadis, para jenderal disiksa. Penyiksaan berupa pemukulan, penyiletan di wajah, penyundutan rokok, ditusuk pakai belati, dicongkel matanya, dipotong alat kelaminnya.
Indonesianis dari Cornell University, Benedict Anderson, mengungkapkan hasil visum ini dalam artikelnya, ‘How did the General Dies?’ di jurnal Indonesia edisi April 1987. Merujuk hasil pemeriksaan tim dokter, enam jenderal tewas karena luka tembak, dan Jenderal MT Haryono tewas karena luka tusukan senjata tajam.
Dari hasil visum yang dilakukan tim yang terdiri dari dr. Lim Joe Thay, dr. Brigjen Rubiono Kertopati, dr. Kolonel Frans Pattiasina, dr. Sutomo Tjokronegoro dan dr. Liau Yan Siang itu dijelaskan tidak ada bekas penyiksaan seperti penyiletan, pemotongan alat kelamin atau pencungkilan mata. Semua organ tubuh para perwira tinggi AD itu utuh sama sekali.
2. DN Aidit merokok
Asvi pernah mengomentari penggambaran DN Aidit sebagai pemimpin PKI.
Di film itu, Aidit diperankan oleh Syubah Asa. Dia digambarkan sebagai perokok berat. Namun ternyata Aidit bukan perokok.
“Faktanya, DN Aidit itu bukanlah seorang perokok,” kata Asvi
Sosok pemimpin CC PKI (Comite Central Parta Komunis Indoneisa) yang digambarkan sebagai perokok, justru kenyatannya ia bukan pecandu tembakau dan bahkan meminta teman-temannya untuk meminimalisir rokok demi kesehatan finansial partainya.
Murad Aidit, adik DN Aidit, mengatakan bahwa dalam keluarga kami tak ada yang merupakan pecandu rokok. Begitu pula ayah kami pun tak pernah atau jarang sekali merokok. “Dalam film itu diperlihatkan seolah-olah DN Aidit merupakan pecandu rokok yang hebat. Aku dan teman-temanku selalu tersenyum kalau melihat adegan ini, karena DN Aidit merupakan orang yang tak pernah merokok,” kata Murad dalam buku Aidit Sang Legenda.
 3. Peta Indonesia
Di ruang Markas Kostrad peta Indonesia, yakni menggambarkan kala Soeharto memimpin operasi pemulihan keamanan. Di situ digambarkan Timor Timur telah masuk Indonesia. Padahal 1965 belum masuk NKRI. Timor Timur baru menjadi bagian Indonesia pada tahun 1976.
“Mereka (pembuat film) nggak sadar. Ini kan tidak akurat. Hal-hal yang kecil-kecil saja sudah tidak akurat, apalagi soal akurasi penggambaran yang sangat sadis di film itu,” tutur sejarawan Asvi Warman Adam.
4. Lokasi
Asvi Warman Adam juga menyoroti perihal penggambaran lokasi. Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma dikesankan menjadi sarang PKI dan dekat dengan Lubang Buaya di Pondok Gede. Padahal lokasi Halim dan Lubang Buaya berjauhan, sekitar 14 km pada saat ini.
5.Menyudutkan TNI AU
Menteri Penerangan Letjen TNI Yunus Yosfiah di era Presiden BJ Habibie memutuskan menghentikan penayangan film itu di televisi.
“Jadi pada 30 September 1998, film itu tidak ditayangkan lagi karena ada permintaan dari masyarakat untuk menghentikan penayangan itu,” kata Asvi.
Yang paling terdepan meminta agar film itu tidak ditayangkan lagi di televisi adalah Perhimpunan Purnawirawan Angkatan Udara Republik Indonesia (PPAURI). Permintaan itu disampaikan PPAURI ke Mantan Kepala Staf TNI AU Marsekal Saleh Basarah dan diteruskan ke Yunus Yosfiah dan Menteri Pendidikan Yuwono Sudarsono. PPAURI tak berkenan film itu terus diputar karena film itu dirasa menyudutkan mereka.
“Film itu dirasa mendiskreditkan TNI Angkatan Udara,” kata Asvi. Â Sumber
Tulisan ini adalah bagian dari tugas dan pembelajaran kelas Manajemen Media Digital. Apabila ada kesalahan atau kekurangan mohon di maafkan. Endro Aji /MMD1