Faktual.id
KOMUNIKASI Komunikasi Politik

Sosok Mertua SBY Sang ‘Jenderal Pembantai’ PKI Namun Karier Militer Dibunuh Perlahan Oleh Soeharto

Sejarah mencatat Jenderal TNI (Hor) (Purn) Sarwo Edhie Wibowo berperan penting sebagai “King Maker” dalam peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Mayjen Soeharto.

Sarwo Edhie saat itu menjabat sebagai Komandan RPKAD berupaya menumpas PKI secara tegas pasca peristiwa G30S PKI.

Tanpa kompromi, mertua Susilo Bambang Yudhoyono mengejar dan menindas seluruh pendukung PKI, baik sipil maupun militer.

Jutaan nyawa terkait PKI hilang dan beberapa media menjulukinya sebagai Jendral Pembunuh.

Tanpa respons cepat dari Sarwo Edhie dan keputusannya untuk berdiri teguh di sisi Soeharto, suksesnya upaya penggulingan Soekarno dan pendirian Orde Baru mungkin akan sulit terwujud.

Namun, ironisnya, meskipun Sarwo Edhie adalah salah satu pendukung setia Soeharto, ia tidak memperoleh imbalan yang sepadan setelah Soeharto menjabat sebagai presiden.

Sebaliknya, ia mengalami nasib tragis dalam karier dan kehidupannya.

Karier kakek Agus Harimurti Yudhoyono di dunia militer dibunuh perlahan.

Pada tahun 1967, Sarwo Edhie dipindahkan dari jabatan komandan RPKAD ke jabatan Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) II/Bukit Barisan di Sumatera Utara.

Jabatan ini dianggap sebagai penurunan pangkat dan pengasingan bagi Sarwo Edhie, yang sebelumnya mengepalai pasukan elit RPKAD.

Pada tahun 1968, Sarwo Edhie dipindahkan lagi ke jabatan Pangdam XVII/Cenderawasih di Papua.

Jabatan ini juga dianggap sebagai penurunan pangkat dan pengasingan bagi Sarwo Edhie, yang harus berhadapan dengan gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Pada tahun 1970, Sarwo Edhie dipindahkan lagi ke jabatan Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan.

Jabatan ini dianggap sebagai pensiun dini bagi Sarwo Edhie, yang harus meninggalkan dunia militer yang ia cintai.

Pada tahun 1973, Sarwo Edhie ditunjuk sebagai Gubernur Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI).

Jabatan ini dianggap sebagai jabatan terakhir bagi Sarwo Edhie, yang tidak memiliki peluang untuk naik pangkat lagi.

Kenapa bisa begitu?

Sejumlah pengamat politik meyakini bahwa Soeharto takut kepada Sarwo Edhie. Ia tidak mau ada “matahari kembar” di pemerintahannya.

Maklum saja, kala itu nama Sarwo Edhie begitu viral dan harum karena kesuksesannya mengganyang PKI.

Menurut sejarawan Salim Said dalam buku Menyaksikan 30 tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016), nasib Sarwo senahas dua “king maker” (sosok yang membuat orang lain jadi raja) lainnya, yakni Letnan Jenderal Kemal Idris dan Mayor Jenderal HR Dharsono.

“Cerita yang beredar waktu itu adalah bahwa dalam penyingkiran Sarwo, Ali Moertopo memainkan peranan besar,” tulis Salim.

Salim bercerita bahwa ia mendengar dari Sarwo yang baru pulang dari menjenguk Soeharto di Cendana.

Sarwo, yang pernah menjadi Panglima Kodam Bukit Barisan (1967-68), dirumorkan berkeinginan untuk menggulingkan Soeharto.

Sarwo menanyakan hal ini kepada Soeharto saat bertemu dengannya, tapi Soeharto hanya tersenyum dan tidak menjawab.

Salim mengungkapkan bahwa sumber tuduhan itu adalah Ali Moertopol, seorang perwira intelijen yang dekat dengan Soeharto.

Selain itu, Soeharto juga tidak menyukai Sarwo karena alasan mistis.

Menurut Soeharto, Sarwo memiliki aura kembar matahari yang menandakan ambisi untuk menjadi penguasa dan mengancam posisinya.

Hal ini membuat karir Sarwo di militer terhambat.

Belum lagi, pada awal-awal penumpasan PKI, Soeharto pernah sangat marah dan curiga kepada Sarwo.

Pasalnya, Sarwo sempat bertemu dengan Presiden Soekarno di Istana Bogor tanpa sepengetahuan Soeharto.

Bapak Orde Baru ini curiga, Sarwo Edhie punya rencana tersembunyi di belakangnya.

Sementara itu , Salim jyga menulis dua versi kisah tentang mengapa Soeharto tidak menyukai Sarwo.

Versi pertama, berdasarkan keterangan istri Sarwo, Sunarti: “Pak Harto tidak suka bapak (Sarwo) karena pernah ke Bogor. Pak Harto menganggap Anda sebagai orang yang serakah.”

Versi kedua, berdasarkan cerita Daud Sinjal, mantan General Manager Harian Sinar Harapan.

Sarwo itu sahabat Yan, tapi Soeharto benci Yan, kata Daud.

Said menambahkan, Sarwo tidak segera memberitahu Soeharto ketika Yan meninggal.

Malah, ia menghadap Menteri Pertahanan Abdul Haris Nasution.

 

Disarikan Oleh ARS

Sumber

Related posts

Ganjar Unggul Dengan Elektabilitas 40% Melalui Litbang Kompas.

Tim Kontributor

Disebut Tak Percaya Tuhan Oleh Anak Amien Rais, Ini Jawaban KPU

Kontributor

KPK Temukan Kartu Keanggotaan Kasino Milik Eks Mentan SYL

Tim Kontributor

Leave a Comment