Pagi itu, Andi terbangun dengan suara alarm di ponselnya. Dengan mata setengah terpejam, tangannya refleks meraih perangkat kecil itu. Bukannya langsung bangun, ia malah membuka Instagram, kemudian beralih ke TikTok. Setengah jam berlalu. Sarapannya sudah dingin di meja. Ia sadar telah membuang waktu, tapi tetap saja sulit untuk melepaskan diri dari kebiasaan ini.
Fenomena seperti yang dialami Andi bukanlah hal asing. Kita hidup di era di mana scrolling menjadi aktivitas harian yang tak terhindarkan. Setiap hari, jutaan orang menghabiskan berjam-jam menggulir layar, dari satu video ke video lain, dari satu berita ke berita lainnya, tanpa tujuan yang jelas. Lalu, bagaimana ini bisa terjadi? Mengapa kita begitu sulit menghentikan kebiasaan ini meskipun kita sadar bahwa ada hal-hal lebih penting yang harus dilakukan?
Jawabannya ada pada cara kerja teknologi dan otak manusia yang telah terbentuk oleh kebiasaan baru ini. Algoritma media sosial dirancang untuk membuat kita betah. Setiap konten yang kita lihat akan direkomendasikan dengan konten serupa, yang membuat kita semakin tenggelam dalam lautan informasi tak berujung. Ini adalah jebakan psikologis yang disebut “dopamin loop”. Setiap kali kita menemukan sesuatu yang menarik, otak kita melepaskan dopamin, hormon yang memberikan perasaan senang dan membuat kita ingin lebih banyak melihat.
Scroll tanpa henti ini bisa diibaratkan seperti kasino digital, di mana setiap gesekan jari adalah seperti menarik tuas mesin jackpot yang bisa memberikan kejutan kapan saja. Tidak heran jika banyak dari kita terjebak di dalamnya. Kita mengabaikan pekerjaan, mengorbankan waktu tidur, bahkan lupa berbincang dengan keluarga. Di sebuah kafe, seorang ibu dan anak duduk bersebelahan. Namun, alih-alih bercakap-cakap, keduanya sibuk dengan ponsel masing-masing. Dunia nyata mulai tergantikan oleh dunia digital. Interaksi sosial berubah menjadi like, share, dan komentar.
Beberapa studi menunjukkan bahwa kebiasaan scrolling berlebihan berdampak negatif pada kesehatan mental. Rasa cemas dan depresi meningkat akibat perbandingan sosial yang terus-menerus kita lakukan di media sosial. Kita melihat orang lain tampak bahagia, sukses, dan sempurna. Padahal, apa yang ditampilkan sering kali hanyalah bagian terbaik dari hidup mereka. Kesadaran bahwa hidup kita tidak seindah yang ada di media sosial membuat kita semakin rendah diri.
Selain itu, kemampuan kita untuk fokus juga terpengaruh. Konten-konten pendek yang bertebaran di internet melatih otak kita untuk mencari kepuasan instan. Membaca buku terasa lebih sulit karena kita terbiasa dengan informasi singkat dan cepat. Menulis tugas atau bekerja tanpa distraksi menjadi tantangan berat karena otak kita selalu mencari sensasi baru dari layar ponsel. Ini adalah krisis yang tak disadari oleh banyak orang.
Generasi ini, yang tumbuh dengan smartphone di tangan, disebut sebagai “Scroll Generation”. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu dengan layar daripada dengan dunia nyata. Konsekuensinya, banyak dari mereka kesulitan dalam membangun hubungan yang mendalam, merencanakan masa depan, dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Tapi apakah kita harus menyerah? Apakah tidak ada cara untuk keluar dari jebakan ini? Tentu ada.
Langkah pertama adalah menyadari bahwa kita memiliki masalah. Sering kali, kita tidak merasa kecanduan karena scrolling sudah menjadi bagian dari kebiasaan sehari-hari. Cobalah hitung berapa jam dalam sehari yang dihabiskan hanya untuk melihat konten di media sosial. Jika jumlahnya melebihi dua jam, mungkin ini saatnya untuk mengevaluasi kembali kebiasaan kita.
Langkah kedua adalah membangun kesadaran digital. Gunakan media sosial secara sadar. Batasi waktu penggunaan dengan alarm atau aplikasi pengatur waktu. Jangan biarkan algoritma mengendalikan kita. Alih-alih menonton apa yang direkomendasikan, carilah konten yang benar-benar bermanfaat.
Langkah ketiga adalah melakukan digital detox secara berkala. Matikan notifikasi media sosial saat bekerja atau belajar. Sediakan waktu tanpa ponsel, misalnya sebelum tidur atau saat berkumpul bersama keluarga. Selain itu, kita bisa mengganti kebiasaan scrolling dengan aktivitas yang lebih produktif. Membaca buku, menulis jurnal, atau belajar keterampilan baru jauh lebih bermanfaat daripada sekadar melihat video tanpa arah.
Ingatlah, media sosial seharusnya menjadi alat yang kita kendalikan, bukan sebaliknya. Kita bisa tetap menikmati teknologi, tetapi dengan cara yang lebih sehat dan terkendali. Ada banyak manfaat dari era digital, tetapi hanya jika kita menggunakannya dengan bijak. Jika tidak, kita hanya akan menjadi bagian dari generasi yang kehilangan waktu tanpa menyadarinya.
Andi akhirnya sadar. Ia memutuskan untuk menghapus beberapa aplikasi media sosial dari ponselnya. Awalnya sulit. Rasa ingin tahu dan dorongan untuk kembali scrolling masih ada. Namun, ia bertahan. Ia mulai mengisi waktunya dengan membaca buku dan berolahraga. Beberapa minggu berlalu, dan ia merasakan perubahan. Ia lebih fokus, lebih produktif, dan lebih bahagia. Tentu, media sosial masih ada dalam hidupnya. Tapi kini, ia yang mengendalikan, bukan sebaliknya.
Kisah Andi adalah kisah kita semua. Kita punya pilihan untuk tetap terjebak dalam layar, atau keluar dan mulai menjalani hidup yang lebih nyata. Tidak ada salahnya menikmati media sosial, tetapi kita harus tahu batasannya. Hidup tidak hanya tentang scrolling, tapi tentang menciptakan sesuatu yang bermakna. Kita bisa memanfaatkan teknologi untuk hal-hal yang lebih bermanfaat. Gunakan waktu untuk belajar, berkarya, dan terhubung dengan orang-orang terdekat secara nyata.
Generasi ini masih memiliki kesempatan untuk berubah. Kita bisa menjadi generasi yang tidak hanya mengonsumsi informasi, tetapi juga menciptakan sesuatu yang bernilai. Kita bisa menjadi generasi yang lebih sadar akan bagaimana kita menggunakan waktu dan teknologi. Mulailah dengan langkah kecil. Kurangi waktu scrolling sedikit demi sedikit. Buat target harian untuk melakukan sesuatu yang lebih produktif. Jangan biarkan teknologi mengambil alih hidup kita. Karena pada akhirnya, waktu adalah aset paling berharga yang kita miliki. Dan bagaimana kita menggunakannya, akan menentukan masa depan kita. Lynk.id/iwan