Kawasan Manggarai dan Jalan Sultan Agung dikenal sebagai salah satu titik kemacetan di DKI Jakarta. Namun, siapa sangka bahwa Jalan Sultan Agung yang memanjang di depan Pasar Rumput menyimpan sejarah kelam perbudakan di Batavia (nama Jakarta pada era kolonial) pada tahun 1800-an. Tak banyak yang tahu bahwa Jalan Sultan Agung dulunya bernama Jan Pieterzoon Coenstraat (Jalan Jan Pieterzoon Coen) yang diambil dari nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda terkemuka.
Pieterzoon Coenstraat adalah musuh bebuyutan dari Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja legendaris Kesultanan Mataram Islam. Seorang penulis sejarah, Alwi Shahab mengatakan, nama Jan Pieterzoon Coenstraat (Jalan Jan Pieterzoon Coen) diganti menjadi Jalan Sultan Agung ketika militer Jepang mulai berkuasa di Indonesia. “Kalau enggak salah itu terjadi pada 1943,” ujar penulis sejarah Jakarta itu kepada Historia.
Kawasan Manggarai yang berada berdekatan dengan Jalan Sultan Agung dikenal sebagai pusat penjualan budak di Batavia pada tahun 1800-an. Bahkan, kata Alwi, nama “Manggarai” mengacu pada daerah Manggarai di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menjadi asal mayoritas para budak belian. Para budak itu didatangkan oleh Belanda yang bermula pada saat Pieterzoon Coenstraat menaklukkan Jayakarta (sebelum berubah menjadi Batavia) pada tahun 1619.
Ketika Pieterzoon Coenstraat tiba di Jayakarta, kawasan Manggarai dihuni sedikit penduduk, bahkan nyaris tanpa penduduk. Sebab, orang-orang Jawa dan Sunda yang tadinya tinggal di Jayakarta, telah menghindar dan memilih pergi ke selatan Jakarta yakni Jatinegara Kaum. “Sedangkan untuk membangun Batavia pasca penaklukan, orang-orang Belanda itu memerlukan tenaga kerja,” tulis Alwi Shahab dalam Kisah Betawi Tempo Doeloe: Robin Hood Betawi. Itulah sebabnya, Pieterzoon Coenstraat memerintahkan anak buahnya untuk mendatangkan tawanan perang dari berbagai daerah seperti Manggarai, Bali, Bugis, Arakan, Makassar, Bima, Benggala, Malabar, dan Kepulauan Koromandel (India).
Mereka kemudian dijadikan budak untuk bekerja dalam berbagai proyek pembuatan benteng, loji, jalan, dan rumah-rumah pejabat Hindia Belanda.
Pusat Penjualan Budak
Perdagangan budak di Batavia terus berkembang pesat. Selain untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja, para budak perempuan juga didatangkan untuk memenuhi nafsu bejat kaum laki-laki kolonial dan mitra bisnis mereka. “Lelaki di Batavia (Belanda, Tionghoa, Melayu dan Arab) “membutuhkan” budak untuk kawin, sebab wanita Belanda, Tionghoa dan Arab asli hampir tidak ada,” tulis Adolof Heuken SJ dalam Historical Sites of Jakarta.
Harga setiap budak awalnya ditentukan oleh usia dan tenaga. Namun, pada abad ke-18, harga jual budak perempuan menjadi lebih tinggi dua sampai tiga kali lipat dari harga jual budak laki-laki. Menurut Heuken, kenaikan harga budak perempuan disebabkan permintaan budak perempuan terutama dari kalangan pebisnis Tionghoa yang mulai meningkat.
Para pebisnis tersebut memerlukan budak perempuan untuk memenuhi nafsu bejat mereka dan mengatur rumah tangga. Untuk orang-orang Eropa, mereka lebih menyukai budak perempuan dari Nias dan Bali. Walaupun kekuasaan Pieterzoon Coen telah berakhir, penjualan budak di Batavia masih terus dilakukan. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal van der Parra (1761-1755), kurang lebih 4.000 budak didatangkan setiap tahunnya. Kepemilikan budak bahkan menjadi gengsi tersendiri bagi orang-orang Belanda dan menjadi tolak ukur kejayaan dan kemakmuran.
Salah satu orang kaya asal Belanda yakni Van Riemsdijk (1782), dia memiliki 200 budak di rumahnya di Batavia. Jika ditotalkan, harga seluruh budak adalah s33.000 rijksdaalder. “Kehidupan para budak seringkali sangat berat: mereka disiksa dengan kejam jika bersalah, walau kesalahan itu tak seberapa…” ungkap Heuken. Hingga tahun 1814, ada 14.239 orang berstatus budak di Batavia. Baru 46 tahun kemudian, perbudakan secara resmi dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda. Meski demikian, penjualan orang terus berlanjut di pedalaman Nusantara hingga akhir abad ke-19. (Hendi Jo)