Faktual.id
POLITIK Politik Dalam Negri

POLITIK KAUM KARTEL

Ada sebuah nasihat, peringatan, atau mungkin juga ancaman yang mengalir dingin dari negeri “Tirai Bambu” ribuan tahun silam: “Jika rakyat lemah berarti negara kuat, dan ketika negara lemah berarti rakyat kuat.” Demikian pendakuan Shang Yang, negarawan Tiongkok di abad ke-4 SM. Tiongkok masa itu, sebuah negeri kautik. Suatu periode ketika kekuasaan pemerintah pusat, ”Sang Putra Langit” begitu labil, dan masing-masing wilayah bagian bertindak sebagai ‘raja-raja’ yang berdaulat.
Shang Yang meneguhkan, negara kuat tidak boleh memiliki rakyat yang kuat pula. sebab itu, proses pelemahan rakyat segera dilakukan: rakyat harus dibodohkan, kemauan dan mimpi mereka mesti dimusnahkan, tradisinya harus dihancurkan, kenangan masa lalunya mutlak dilenyapkan. Namun sesekali dengan bonus, ”encoureged rewards” agar “pikirannya tertib dan mudah dibelokkan,” nasihat Shang Yang.
Mungkin di Barat, Shang Yang terwakili sosok Niccolò Machiavelli. “Ketahuilah, tuan” tulis Machiavelli dalam Il Principe, yang dipersembahkan kepada Lorenzo, the Magnificient Son of De Medici, “ada dua cara untuk merengkuh kebesaran: pertama dengan hukum dan kedua lewat kekerasan.” Machiavelli, yang menyaksikan Italia dalam bara dendam, saling curiga dan tercabik-cabik di awan mendung abad ke-15, menganjurkan jalan kedua. Paradigma kekuasaan—bagi Machiavelli—hanya satu: bebaskan Italia dari kekacauan dengan siasat apapun!
Alur pikir Machiavelli sederhana: establisment. Tapi karena “kemapanan” mengandaikan kekuasaan penuh, maka nilai prikemanusiaan, keadilan, dan kejujuran pun goyah. Maciavelli agaknya lupa bila sejarah berarti ketegangan antara hasrat perubahan dan ide persambungan. Dan, justru itu yang coba dipotong Machiavelli. Akibatnya kekuatan ”arus bawah” terbit. Sejarah kemudian menunjukkan bagaimana sebuah kekuasaan rontok ketika ia tidak lagi ditopang kesetiaan rakyat. Agaknya tesis ini cukup tepat melukiskan kejatuhan rezim Soeharto pada 21 Mei 1998.
Begitulah, rakyat sang “arus bawah” yang sebelumnya tertampik tiba-tiba punya kekuatan, muncul laksana lokomotif kereta api: awalnya mengelus lembut, tapi kemudian mewujud sebagai lengan-lengan raksasa yang mencengkeram kuat bentangan rel. The people’s power adalah gemuruh arus itu. Bahkan dalam tradisi Yunani antik, rakyat diyakini sebagai “suara Tuhan,” vox populi vox dei: di titik ini rakyat bukan lagi rumusan nominal tapi sebuah kekuatan excellence. Dan, demokrasi, kata orang, dimulai dari titik kesadaran seperti itu.

Peringkusan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar oleh KPK menyusul dugaan suap milyaran rupiah dalam kasus sengketa pemilihan Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Bupati Lebak, Banten, bukan hanya skandal paling memalukan tapi juga memilukan semesta hukum Indonesia. Namun, di balik peristiwa itu, ada aroma busuk yang merayap: terendusnya “konspirasi hitam” dari mereka yang sejauh ini berhasrat kuat melanggengkan kekuasaan politik dinasti.
Setidaknya, ada dua konstruksi teoretis yang coba menjelaskan fenomena politik dinasti di Indonesia: oligarchy dan bossism. Teori “oligarchy” adalah daya tahan para oligarki sejak zaman Orde Baru sebagai buah perselingkuhan antara kapitalisme pemangsa dan politik demokratik. Sementara, teori “bossism” memberi perspektif tentang bagaimana jejaring orang kuat dan para “bos” menguasai, memperkuat, dan memanfaatkan “negara” untuk kepentingan diri sendiri.
Dari studi tersebut, menunjukkan jika keduanya sama-sama menekankan karakter “pemangsa” (predatoris) dari negara. Pada Bossism, karakter predatoris dinyatakan sebagai konsekuensi untuk menciptakan “pemerintahan kuat” dari jaringan para bos. Sementara, untuk oligarki, karakter ini tumbuh dari logika modal dalam sistem kapitalisme.  Bagaimana korporasi-korporasi multinasional telah mengubah kehidupan dan masa depan suatu bangsa yang berujung pada kematian demokrasi. Ini karena korporasi-korporasi tersebut memiliki kekuatan ekonomi yang melampaui ketangguhan ekonomi suatu negara. Mereka hadir sebagai “penyandang dana” tak terbatas untuk sebuah pemerintahan ‘boneka’ yang diciptakannya melalui pemilu “demokratis.”
Kini, baik pola oligarchy maupun bossism, laksana gurita “kartel” dalam kehidupan politik nasional kita dan menular ke daerah melalui politik dinasti. Itu sebab, dalam “fatsun” politik mereka, seluruh ruang yang memungkinkan politik dinasti terjaga awet, musti direbut, dikuasai dan ditaklukkan: mulai dari ‘pengendalian’ komisioner di KPU, distribusi kerabat di sejumlah partai politik dan jaringan bisnis, money politics, citraan media, hingga praktik sogok yang merobohkan wibawa Mahkamah Konstitusi.
Mungkin, dari suasana seperti itulah kemilau, hasrat, dan tragedi bertaut. Kekuasaan, khususnya politik dinasti, sebab itu, adalah sebuah pesona, tapi juga ibarat pematang yang genting: sempit, licin, kotor, dan berlumpur.

Tulisan ini adalah karya pembelajaran jurnalistik mahasiswa STISIP Widuri atas nama AHMAD FAUZI
Kami sangat terbuka bila ada kekurangan dan koreksi, silahkan di masukan pada kolom komentar.

 

 

Related posts

Politik Identitas Sebuah Tinjauan Sejarah

Tim Kontributor

75 Tahun Indonesia Merdeka Masih Ada Yang Belum Merdeka?

Tim Kontributor

Anggota DPR Ini Singgung Pangkat AHY Yang Jauh Dibawah Menteri ATR/BPN Sebelumnya

Tim Kontributor

Leave a Comment