Mungkin sudah familiar di telinga kita dengan kalimat “Catatan Seorang Mahasiswa”, “Catatan Seorang Aktivis”, “Catatan Seorang Muslim”, “Catatan Seorang Demonstran”, dan Catatan seorang lainnya, yang mana mengisahkan runtutan perjalanan kehidupan yang ditulis oleh tokoh utamanya.
Rasa bingung bercampur gugup ketika ide menamai sepenggal cuplikan narasi kehidupan ini dengan judul “Catatan Seorang Agnostic”. Saya bingung karena kata agnostic di dalam masyarakat Indonesia merupakan kata yang memiliki makna negatif. Saya gugup karena entah mengapa ketika terbersit kata “Catatan Seorang Agnostic” terasa jantung ini berdebar-debar tak karuan, entahlah mengapa.
Cerita ini bermula pada suatu malam di hari Jum’at yang sangat sibuk, sekitar beberapa tahun yang lalu, tapi datanya masih tersimpan rapi di lemari fiksi saya. Malam itu adalah malam yang sangat panjang untuk dihabiskan dengan berkumpul, bercanda, dan tertawa bersama kawan, menghilangkan penat setelah menjalani kewajiban kuliah dari pagi hingga sore, kemudian ditambah kegiatan organisasi hingga malamnya. Besok sabtu tidak ada kewajiban kuliah, sangat wajar jika kami tidak peduli dengan waktu, meskipun waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari, kami masih semangat untuk berdiskusi. Kami bertukar cerita satu sama lain dan bernostalgia.
Di tengah serunya candaan kami, ada seorang kawan yang tiba-tiba nyeletuk kepada kawan yang lain. Seketika itu saya terheran-heran dengan celetukannya “udah ketemu agamamu?”. Mendengar celetukan dari temen saya tersebut, saya pun bertanya–tanya di dalam hati, apakah betul kawan yang satu ini seperti apa yang ditanyakan oleh kawan saya yang tadi?
Ah, mungkin ia hanya bercanda saja, toh, kami semua disini hanya bercanda dan bergurau, membunuh malam dengan tertawa sesuka hati sambil menanti rona fajar kembali berseri. Waktu sudah dini hari, entah berapa gelas kopi sudah kami habiskan, entah berapa puntung rokok terhirup, dan mata kami masih terjaga. Satu persatu kawan pergi, suasana di sekitar warung sudah hening. Hanya terdengar suara jangkrik bernyanyi. Sesekali raungan motor di jalan. Motor yang tadinya penuh terparkir di depan warung kini tinggal tersisa dua, tinggal saya dan kawan yang satu ini.
Kawan saya ini adalah kawan yang tadi diejek oleh kawan-kawan yang lain. Rasa penasaran yang menggebu-gebu membuat saya bertanya kepada kawan yang satu ini.
“Hey, apakah benar kau sekarang atheist?”
“Aku tidak atheist kok, aku hanyalah seorang agnostic, aku percaya akan adanya Tuhan, namun aku hanya tidak percaya akan kebenaran agama-agama yang ada, bagiku semua agama sama saja, semuanya mengajarkan tentang kebaikan, namun karena ada agama, banyak bermunculan manusia-manusia fanatik yang menganggap bahwa agamanyalah yang benar sendiri dan yang lain sesat atau kafir, dan konsekuensinya jika seseorang sesat, maka ia akan masuk neraka”
“Kenapa kamu memutuskan untuk menjadi agnostic?
“Aku hanya ingin mencari kebenaran. Bukan kebenaran yang telah didefinisikan oleh pemuka-pemuka agama, melainkan kebenaran yang kutemukan sendiri, kebenaran yang kuperoleh dari penempaan dan perjalanan panjang menyusuri kehidupanku. Aku akan mencari kebenaran terus menerus hingga kumati.”
Itu adalah sedikit cuplikannya.
Keputusan kawan saya untuk melepas jubah kepercayaannya yang semenjak kecil ia genggam dan mencari kebenaran yang hakiki dengan menyusuri kehidupan malah disambut tawaan dan cibiran dari kawan-kawan yang lain. Banyak yang mengejek ia sebagai orang kafir, manusia bodoh, bahkan dengan sindiran yang ekstrim, yakni calon penghuni neraka.
Apa yang salah dengan orang-orang yang sedang mencari kebenaran? Apa yang salah dengan orang yang tidak mempercayai keyakinan mayoritas? Apa yang salah dengan orang yang mencari kemurnian jati dirinya? Sungguh toleransi dan rasa kemanusiaan kita semakin terkikis dan lama-kelamaan akan lenyap dari sanubari ini.
Ada beberapa hal yang dapat di ambil dari diskusi dengan kawan saya yang satu ini. Saya belajar untuk harus jernih memandang orang lain. Saya belajar untuk menghargai orang yang memiliki pilihan dan keyakinan yang berbeda dengan yang lainnya. Saya belajar untuk berjalan dimuka bumi dengan rendah hati dan tidak memaksa orang lain yang berbeda keyakinan menjadi sama dengan saya. Dan saya belajar untuk tidak melihat orang lain yang berbeda keyakinan sebagai objek dakwah untuk mengubah kepercayaan mereka menjadi sama dengan saya.
Setiap manusia memiliki cerita mereka masing-masing. Mereka memiliki kisah panjang yang menempa diri mereka hingga menjadi seperti sekarang. Mereka juga memiliki cita-cita dan kesempatan yang sama dengan kita untuk hidup dengan mengikuti kata hati mereka.
Kita ada di dunia yang sama, namun kenapa kita berbeda-beda? Perbedaan memang sesuatu yang tak bisa dihindarkan. Agama, ras, suku, pendidikan, pekerjaan, kekayaan, dan lain-lain. Atas kehendak Tuhan, perbedaan antar manusia itu ada dan direstui keberadaannya oleh Sang Tuhan untuk mewarnai kehidupan alam semesta raya ini. Kita harus sadar dan seharusnya mengerti bahwa akan ada orang yang berkeyakinan lain dengan kita. Kita tidak bisa memaksakan keyakinan kita kepada orang lain. Membungkus seluruh perbedaan ke dalam satu pandangan, mengotakkan seluruh identitas ke dalam satu identitas.
Bagi saya dosa terbesar manusia saat ini adalah hanya memegang satu pandangan saja. Apapun kepercayaan dan keyakinan kita, pegang itu, kita baktikan sama-sama untuk kemanusiaan. Jangan mencela, mencibir, menghina, dan menindas orang lain. Tidak usah kita tunjukkan keyakinan kita, biar orang lain yang menilai.
Apa yang saya ungkapkan disini pasti bersifat subjektif karena didasarkan pada sudut pandang, falsafah, dan keyakinan keagamaan yang saya anut. Siapapun bebas menyampaikan pendapat yang berbeda akan hal ini karena kebebasan berpendapat dilindungi oleh undang-undang dan norma di masyarakat dan aku menghormati itu.
Tulisan ini adalah karya pembelajaran jurnalistik mahasiswa STISIP Widuri atas nama AHMAD FAUZI
Kami sangat terbuka bila ada kekurangan dan koreksi, silahkan di masukan pada kolom komentar.