Ketika muncul berita DPR sedang menggodok Rancangan Undang Undang tentang Minuman Keras, tumben-tumbenan belum banyak respon dari masyarakat. Setelah beberapa minggu baru muncul beberapa penolakan.
Yang menjadi catatan saya, justru, yakin nih DPR atas RUU ini? Bukannya para penenggak minuman keras ini kebanyakan orang yang ndablek. Ini tentu saja diluar kalangan yang minum karena adat dan kepentingan keagamaan. Ditambah ada pengecualian untuk wisatawan. Ini sangat rancu isi pasalnya.
Dalam beberapa pasal RUU tentang Minuman Keras yang saya terima, sanksi pidana dalam pasal 20, setiap orang yang mengkonsumsi minuman beralkohol sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan/atau enda paling sedikit Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah). Pasal 7 sendiri adalah larangan untuk setiap orang mengkonsumsi minuman beralkohol golongan A, golongan B dan golongan C.
Penggolongan minuman beralkohol ini diatur dalam pasal 4, yaitu golongan A kadar etanol kurang dari 5%, golongan B kadar etanol antara 5-20%, dan golongan C kadar etanol antara 20-55%. Dalam pasal ini, minuman beralkohol tradisional dan racikan juga dilarang.
Dalam Bab III juga ada larangan setiap orang untuk memproduksi minuman beralkohol golongan A, B, C dan juga minuman beralkohol tradisional dan racikan. RUU lebih tepatnya melarang setiap orang untuk meproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan dan/atau menjual minuman beralkohol di wilayah NKRI. Tidak ada kalimat “tanpa izin”disini. Kalau berizin bagaimana? Dimana dan bagaimana memproses izinnya? Bagaimana standarisasinya? Dan aturan-aturan lainnya.
Jika pemerintah cerdas, dan tidak mau disebut ini RUU pesanan importir minuman keras, harusnya pemerintah lewat pemda menginventarisir potensi minuman keras khas di daerahnya. Membuat standarisasi dengan membuat SNI dan melakukan pelatihan pembuatan minuman keras yang aman, sesuai kearifan lokalnya, kemudian membentuk badan usaha buat mereka. Misalnya Koperasi atau BUMD, dan menciptakan merk sendiri. Toh, RUU ini ketika disahkan juga tidak akan berguna, para produsen dan peminum ini tetap saja akan lebih pinter. Justru mereka hanya akan dipalakin oleh oknum dan akhirnya tidak ada pajak yang masuk ke kas negara.
Asal tau saja, data dari Kementrian Keuangan, penerimaan cukai dari minuman mengandung etanol atau etil alkohol dari Januari sampai September 2020 sebesar 3,62 triliun. Ini termasuk sedikit karena ada penurunan 23% dari tahun lalu, mungkin karena COVID-19. Data dari Asosiasi Pengusaha Importir dan Distributor Minuman Indonesia (APIDMI), tahun 2020 terjadi penurunan minuman beralkohol sampai 80%. Sedangkan impor untuk kelompok HS 22 yang meliputi minuman, alkohol, dan cuka Indonesia pada tahun 2020 sampai bulan berjalan sebesar US$ 85,1 juta. Tahun sebelumnya, 2019 sebesar US$ 136,3 juta an pada 2018 sebesar US$ 208,6. Ini sebuah bisnis yang menggiurkan, bahkan Pemprov DKI saja punya saham di PT Delta Djakarta Tbk sebesar 26,25% yang memproduksi Anker Bir dan distributor beberapa merk bir ternama. Tahun lalu, Pemprov DKI menerima deviden sebesar 81,98 milyar.
Tapi Pemprov NTT dan Bali lebih maju selangkah kelihatannya. Mereka lebih cerdas dengan mengangkat alkohol tradisional mereka, membuat SNI, mengatur produksinya, membuat merk, dan menjadikan minuman beralkohol ini legal untuk dijual dengan beberapa ketentuan.
Kembali ke masalah minuman beralkohol tradisional, coba saja, minuman tradisional ini difasilitasi, distandarisasi, dan dibantu pemasarannya. Akan banyak cukai yang dibayar oleh para produsen ke kas negara. Cukai yang biasanya menjadi jatah preman para oknum ini nilainya bisa puluhan milyar. Jatah preman ini, dari para produsen minuman ilegal, juga dari para pedagang minuman yang tidak ada izin, mampu membiayai beberapa omas besar, juga biaya operasional beberapa oknum penegak hukum. Japrem ini tidak hanya ke pedagang minuman, juga ke judi gelap dan prostitusi. Minuman, judi, dan prostitusi ini, banyak dipalakin ormas untuk operasonal organisasi mereka. Juga operasional para oknum penegak hukum. Apa memang akhir tahun ini waktunya para importir dan produsen minuman beralkohol yang dipalakin lewat RUU Larangan Minuman Beralkohol?
Harusnya RUU ini mengatur masalah standarisasi, proses pembuatan, dan zonasi penjualan dan peredaran. Misalnya lokasi penjualan tidak boleh berada dalam radius 1 km dari kawasan pendidikan dan keagamaan. Jadi di sekitar Masjid dan sekolah tidak boleh ada. Hanya khusus di kawasan wisata saja misalnya. Juga batasan umur, dibawah 18 tahun tidak boleh minum minuman keras, juga para pedagang yang menjual ke anak dibawah umur ada pidananya. Toh tidak semua peminum itu pemabok, yang mabok dan berbuat kriminal ini yang harus dipidana Terus pelaku kriminal ini ngapain setelah mabok, menganiaya orang, merusak property orang? Ini toh sudah ada hukumannya di KUHP.
Yang bahaya kan yang mabok lalu berbuat kriminal. Bagaimana dengan yang minum untuk kesehatan? Kakek saya misalnya, dulu tiap hari minum anggur cap Orang Tua, dan bener-bener untuk jamu, karena diminum satu sloki tiap mau tidur, teratur, dan nggak pernah mabok.
Tapi jika tidak ada revisi dari RUU ini, dan tetap disahkan, gampang saja, saya toh tetap bisa minum. Toh ada pengecualian, untuk kepentingan adat, keagamaan dan wisatawan boleh. Jadi saya akan berwisata saja, tiap hari, ke Kemang misalnya. Atau bikin acara adat tiap hari, atau ritual keagamaan.
Salam – Drunken Master
penulis : ahmad fauzi mahasiswa stisip widuri