Akhirnya, seorang sahabat kami tersambar Covid juga. Dia sudah berumur di atas lima puluh, dan sudah agak lama mengeluhkan problem kesehatan ini-itu. Wajar saja kalau kami teman-teman baiknya agak ketar-ketir. Tapi bersamaan dengan kabar sakitnya itu, saya melihat hal-hal kecil yang secara umum tampak wajar saja, namun membuat segalanya membaik, yakni dukungan teman-temannya.
Dukungan itu datang di grup Whatsapp dalam bentuk rupa-rupa. Bukan cuma doa, pantikan semangat, atau tiupan harapan-harapan baik ala kadarnya. Tapi juga sodoran rencana-rencana jelas, yang membuat suasana gayeng, dan harapan-harapan semakin terasa menggumpal nyata di depan mata.
“Ayo sembuh, Mas! Nanti habis sembuh kita nyate di Pak Anu, Mas!”; “Semangat, Mas! Pasti sudah kangen ikan bakar, to? Besok aku traktir di warung langganan kita di pojok Pasar Itu, Mas!”; “Pokoke habis njenengan sembuh, aku traktir semua anggota grup ini di Kafe Sana! Semua wajib hadir!”
Sederhana, kan? Banget. Tapi ada sesuatu yang sungguh berbeda ketimbang sekadar komentar-komentar di dinding Facebook atau reply di Twitter. Tentu saja karena karakter sebuah grup WA meniscayakan lingkaran pertemanan yang lebih dekat dibanding medsos-medsos cair lainnya. Namun lebih dari itu, janji-janji konkret ala ikan bakar dan sate kambing itu tak lazim ditawarkan oleh orang-orang yang bukan teman betulan.
Pendek kata, sahabat kami itu punya teman. Seremeh itu kesimpulannya, tapi betapa luar biasa efeknya.
Saya sendiri orang yang merasa tak bisa hidup tanpa punya banyak teman. Boleh saja kadangkala saya gagal dalam banyak hal, suram dalam memandang masa depan, atau tak punya uang. Tapi tak punya teman? Aduh, itu sulit sekali saya bayangkan. Dunia saya akan sangat sempit, pengap, dan lama kelamaan pasti habislah saya.
Pernah pada suatu masa, selama beberapa tahun saya tinggal di negeri jauh. Ritme hidup saya adalah bekerja keras seharian, bersama teman-teman kerja yang agak sulit dijadikan teman betulan. Mereka berangkat dari budaya dan bahasa yang berbeda dengan saya, sedangkan secara naluriah kita lebih nyaman berteman dengan orang-orang yang memiliki banyak kesamaan dengan kita.
Saya memang punya beberapa teman baik waktu itu, dari budaya dan bahasa yang sama. Tapi kami cuma bisa berjumpa di akhir pekan, itu pun Sabtu-Minggu lebih sering saya pakai untuk istirahat, atau bersama keluarga berjalan-jalan. Jadilah masa-masa itu saya berada dalam keramaian, tapi hati saya didera kesepian habis-habisan.
“Mampus kau dikoyak-koyak sepi!” Sering waktu itu ledekan Chairil Anwar yang kurang ajar mendenging-denging di telinga saya. Untunglah kemudian saya segera pulang sebelum mampus beneran, lalu secepatnya berjumpa dengan teman-teman.
Tampaknya saya lemah sekali, tidak berdikari, lebih mirip bebek yang berbondong-bondong daripada elang yang, kata Sukarno, dengan gagah terbang sendirian. Tapi ternyata menjadi bebek adalah sebuah pilihan rasional-ilmiah yang bisa jadi mampu menyelamatkan nyawa kita di tengah hantaman-hantaman.
Jepang baru saja menunjukkan itu. Krisis karena pandemi membuat banyak orang mengisolasi diri. Yang tadinya komunal jadi individual, yang individual jadi semakin individual, yang sebelumnya berjarak dengan orang-orang kini semakin menjauh dari keramaian. Kasus bunuh diri melejit, bahkan korban meninggal karena bunuh diri konon lebih besar daripada korban Covid. Sampai-sampai, negeri itu mengangkat seorang tokoh sebagai Menteri Kesepian.
Ketika pertama kali membaca berita itu, saya terkekeh geli. Langsung terlintas di ingatan saya satu akun medsos ngehe bernama Dewan Kesepian Jakarta, yang tentunya plesetan dari Dewan Kesenian Jakarta. Tapi cuma dua detik saja saya tertawa, sebab selebihnya saya paham itu soal serius yang tak bisa ditanggapi hanya dengan tawa. Ya, sebab kesepian memang sangat mungkin membunuh kita.
Saya paham, tidak cukup adil melihat bunuh diri di Jepang sebagaimana bunuh diri di negeri-negeri lainnya. Gini-gini saya ini lulusan Sastra Jepang, dan tahu bahwa Jepang punya tradisi kuno seppuku alias harakiri, yaitu bunuh diri ala kaum samurai yang dilakukan dengan membelah perut sendiri. Dengan tradisi lawas itu, ada pandangan dunia yang melihat bunuh diri bukan semata-mata sebagai sikap seorang lembek yang “berputus asa dari rahmat Allah”, melainkan kadangkala bisa dimaknai sebagai langkah menjaga kehormatan.
Meski demikian, ketika tindakan bunuh diri meningkat drastis karena pandemi, sedangkan pandemi menciptakan banyak situasi sepi dan terisolasi, agak sulit buat kita untuk melihat itu semua sebagai upaya menegakkan kehormatan. Ringkasnya, tetap saja yang di Jepang itu lebih banyak urusannya dengan sepi yang mengoyak-ngoyak hati, alih-alih peneguhan martabat seorang samurai.
Bukan cuma Jepang yang serius melihat kesepian sebagai masalah. Australia, tanah tempat saya mampir hidup dalam kesepian waktu itu, pun pernah merilis laporan bahwa banyak orang mati karena dihajar sepi. Dalam riset dari negeri yang tak mengenal tradisi membelah perut dengan pedang itu ditetapkan bahwa kesepian setara dengan obesitas, cedera, dan ketergantungan kepada obat-obatan.
Apa pun itu, yang jelas di sana memang banyak juga orang mati karena sepi. Dan semuanya kian terakumulasi, karena kehidupan komunal sangat minim, orang memikirkan urusan sendiri-sendiri, tak ada ronda kampung dan arisan RT, konflik dengan tetangga sebelah diselesaikan bukan dengan berembuk baik-baik melainkan dengan melapor ke petugas semacam Satpol PP, dana tali asih untuk teman atau tetangga yang sedang kena musibah juga tidak dikenal sebab diambil alih oleh profesionalitas lembaga asuransi.
Maka, rasanya sesekali kita mesti bergembira dan merayakan karakter kehidupan komunal kita di sini, yang sebenarnya memiliki modal yang kuat untuk bertahan dari gempuran-gempuran. DNA kita ini adalah masyarakat paguyuban. Se-introvert apa pun kita, rata-rata ya punya teman. Kita berisik di medsos, kita punya lima puluh grup Whatsapp, kita punya perasaan rikuh untuk leave group bahkan ketika HP kita semakin lemot, dan di masa bahaya ini kita masih saja melihat banyak orang nongkrong di kafe-kafe dan tempat makan.
Tenang, saya bukan “covidiot” dan anti-prokes. Bahkan seperti halnya Anda, pada mulanya saya pun sinis sepenuhnya melihat orang-orang tetap berkumpul ngopi-ngopi di masa pandemi. Tapi belakangan saya semakin yakin bahwa tidak semua di antara orang-orang itu semata makhluk nir-kepedulian, atau penyandang label yang begitu mudah tertempel di jidat siapa pun sekarang ini: ignorant. Sebab bukan mustahil banyak di antara mereka yang sedang berjuang keras untuk menyelamatkan nyawa, dari terjangan monster ganas bernama rasa sepi yang menyiksa.
Sialnya, dalam melihat itu semua, kita terus diombang-ambingkan oleh dilema dalam narasi besar antara kesehatan dan ekonomi, seolah-olah ancaman nyata di depan kita hanyalah virus dan kemiskinan.
Entahlah. Yang jelas, bersyukur sajalah kalau kita masih punya teman-teman baik, atau minimal punya grup Whatsapp atau Telegram dengan jumlah anggota terbatas. Meski isinya cuma berantem atau sibuk membagi tausiyah, diam-diam mereka adalah energi dan penyelamat kehidupan kita.