Tiga Hari Menjelang Peristiwa Penting.
Renungan Menjelang 27 Juli
Narasi tentang reformasi selalu dikaitkan mahasiswa. Itu karena mahasiswa berhari-hari sudah tumpah ruah ke jalan. Terutama setelah peristiwa Tri Sakti 12 Mei 1998, mahasiswa tersulut emosi sehingga kampus di berbagai pelosok tanah air tidak terbendung lagi. Dan di Jakarta pasukan Marinir TNI AL mengawal mahasiswa dari berbagai kampus bahkan kemudian membukakan gerbang DPR RI sehingga kompleks tsb berubah menjadi lautan mahasiswa. Tak puas sudah dibebaskan masuk komplek, mereka bahkan memanjat atap gedung DPR. Dan saat mahasiswa benar-benar sesak di komplek tsb pagi 21 Mei, di Istana Negara,
Presiden Soeharto yang baru dua bulan terpilih sebagai Presiden RI untuk ke 7 kalinya menyerah tanpa syarat dan menyatakan mengundurkan diri. Dari keadaan itulah, Reformasi selalu dikaitkan dengan mahasiswa. Padahal mahasiswa secara massal baru mulai sejak menjelang Sidang Umum MPR Maret 1998. Tetapi secara organ sudah mulai bergerak menjelang 27 Juli 1996. Sebab di dalam MARI ( Majelis RAKYAT Indonesia) yang atas 34 elemen LSM dan mahasiswa, sejumlah elemen mahasiswa sudah bergabung, termasuk Kelompok Cipayung minus HMI.
Sebelum itu, gerakan mahasiswa hanyalah bersifat sporadis pada skala yang sangat kecil. Maklum nafas gerakan mahasiswa memang menjadi sangat lemah sejak Dewan Mahasiswa dihapuskan melalui program NKK/ (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Kordinasi Kemahasiswaan ) 1978. Keputusan itu masih sempat ditolak sejumlah kampus tetapi pemerintah sukses melakukan penetrasi sehingga lama kelamaan kampus menjadi teduh.
Demokrasi Sekarat, Pemilu Diatur, KKN subur
Dalam kondisi kampus yg terkontrol, Orde Baru semakin bebas menata kekuatan dan kekuasaannya yang mulai terasa menjauh dari misi awalnya yang menjadi promosi utama; pelaksanaan Psncasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dalam kenyataannya, justru semakin tidak murni dan kian tidak konsekuen. Yang terjadi justru semakin diktator. Semakin hari pemilu yang digagas untuk bebas dan rahasia semakin tidak bebas dan semakin tidak rahasia. Bagaimana mau bebas dan rahasia kalau di sejumlah desa, kepala desanya mengumpulkan warganya lalu bertanya; adakah yang mau pilih PPP? Sudah pasti warga terdiam bahkn ada satu dua yg sudah dipersiapkan untuk teriak; tidak ada. Selanjutnya, ada yang mau pilih PDI?
Suara tadi kembali terdengar; tidak ada. Kepala Desa lalu berkesimpulan, berarti semua puluh Golkar, maka untuk menghemat waktu warganya disuruh pulang saja untuk mengerjakan sawah atau kebun. Model tsb bisa bervariasi di berbagai tempat. Di Kalteng misalnya, petugas TPS yang sudah barang tentu dikawal aparat desa naik perahu sementara warga desa berdiri di pinggir-pinggir sungai. Dari atas perahu petugas lalu berteriak; mau pilih apa? Lalu warga di pinggir sungai serempak menjawab;Golkar. Hasilnya sudah pasti Golkar menang telak, lalu TNI/Polri mendapat jatah khusus masuk legislatif, maka jadilah DPR RI, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota mutlak dikuasai pemerintah. Ditambah lagi semua ketuanya mutlak dari TNI baik yang sudah pensiun maupun yang masih aktif. Maka jangan pernah berharap suara kritis dari DPR. Dan jangan pernah bermimpi suara dya parpol PPP dan PDI bisa bertambah. Apalagi PDI yang sengaha dibuat kisruh dan ditaburi berbagai issu termasuk PKI. PDI benar-benar gurem bahkan ditawari jadi pengurus pun orang mana mau. Tidak heran, teman-teman menyebut saya “gila” ketika saya bergabung dengan PDI karena sayalah satu-satunya aktifis di Makassar yang masuk PDI.
Dalam kondisi yang demikian, kekuasaan semakin agresif melakukan penetrasi ke berbagai Ormas, karena setiap pemilihan pimpinan Ormas harus mendapat restu dari pemerintah.
Dalam kehebibgan politik demikian, Orde Baru yang didukung tiga pilarnya ABG ( ABRI, Birokrasi, Golkar) membuat Soeharto yang berada di puncak benar-benar berkuasa mutlak. Demokrasi benar-benar terpimpin. Tidak heran beberapa koran yang mencoba menjalankan fungsi kontrolnya, mengalami pembreidelan. Malahan Sinar Harapan, koran sore yang paling berani akhirnya tidak diizinkan lagi terbit sehingga ia terpaksa terbit dengan nama lain; Suara Pembaruan, tetapi sudah wajah baru, bandelnya tidak hilang sehingga masih harus berulang kali dibreidel.
Yang lain juga kebagian; Kompas, dan TEMPO yang mengupas pembelian kapal perang bekas dari Jerman oleh Habibi harus dieksekusi. Maka heran kalau ada yang lupa atau sengaja mengaburkan sejarah lalu menyebut Habibie sebagai tokoh yang demokratis. Kalau kemudian ia membebaskanku partai bermunculan dan melaksanakan pemilu yang bebas, itu karena ia dipaksa dan tidak punya pilihan lain karena Habibie sama sekali tidak punya kemampuan mengendalikan keadaan seperti bosnya, Soeharto.
Berobat gigi ke Singapura.
Orde Baru kian kokoh, kalau ada yang coba-coba bersuara kritis pasti dilibas tanpa ampun. Itu terapi untuk membuat semua orang ketakutan, takut bicara apa lagi bertindak. Maka lahirlah anekdot yang sangat populer saat itu. Seorang yang sakit gigi pergi berobat ke Singapura. Dokter gigi di sana heran lalu bertanya; kamu kenapa harus ke sini. Kan di Indonesia banyak dokter gigi. Sang pasien menjawab; benar dok, di Indonesia banyak dokter gigi, masalahnya di Indonesia dilarang buka mulut🤣🤣🤣
Karena suara kritis terbungkam, kekuasaan semakin bebas bergerak tanpa kontrol. Maka benarlah kata John Locke, filsul dari Inggris, kekuasaan yang mutlak, mutlak korup. Maka KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme) pun yang di masa pemerintahan Soekarno ditabuhkan, di era Soeharto menemukan lahan subur. Demokrasi menjadi benar-benar gersang, kekuasaan berjalan tanpa kontrol
Petisi 50, SBSI, PDI Promeg
Meskipun Orde Baru sukses memproduksi “virus” ketakutan yang mewabah sehingga tak ada sudut kehidupan yang tak terpapar, tetap saja ada hati yang gundah lalu menggumpal lalu mencari kepundan untuk mengalir. Maka lahirlah Petisi 50 yang diinisiasi 50 tokoh nasional 5 Mei 1980 yang mengkritik langsung Presiden Soeharto. Tiba-tiba jagat politik Indonesia gaduh karena yang membuat petisi bukan orang sembarangan. Tetapi apa dampaknya? Justru membuat orang semakin ketakutan setelah melihat perlakuan bagi pelaku petisi. Jenderal Nasution mantan Kepala Staf Angkatan Perang, Jenderal Hoegeng mantan Kapolri dan Letjen Ali Sadikin bahkan tidak bisa menghadiri upacara2 resmi serta tidak boleh diundang ke pernikahan sejawatnya. Juga ibarat kanker yang terganggu, Orde Baru semakin ganas, iklim Demokrasi semakin beku dan lama. Lama tidak ada pergerakan dalam skala yang besar, hingga muncul seorang pendekar yang oleh banyak kalangan disebut orang “gila”.
Disebut demikian karena tidak ada rasa takutnya. Meskipun tahu tidak akan diakui penguasa, Muchtar Pakpahan nekad mengumpulkan ratusan aktifis di Cipayung. Maka tgl 25 April 1992 lahirlah SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) Satu-satunya organisasi yang terbentuk di luar restu pemerintah. Tetapi walau pun tidak direstui bahkan dilarang pemerintah SBSI tetap jalan untuk memperjuangkan Buruh yang saat itu unumnya betul-betul dalam kondisi terjajah. Tidak bisa bersuara dan tidak boleh mengeluh, maka para pengusaha bebas memperlakukan buruhnya.
Kondisi itu tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang ingin menarik investor asing antara lain dengan mempromosikan Buruh yang murah. Ironis, penguasa yang menyatakan diri akan melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen tetapi justru menawarkan buruhnya dengan harga murah. Pemerintah tidak sadar bahwa justru itulah yg disuarakan Bung Karno, Gatot Mangkoepradja, Maskoen dan Soepriadinata saat di diadili pemerintah Belanda 1930 di Bandung. Bung Karno dalam buku Indonesia Menggugat jelas dan tegas memprotes kaumnya, kaum Marhaen ditindas.
Muchtar Mendobrak Kemapanan
Merujuk pada pikiran Bung Karno itulah Muchtar Pakpahan dosen UKI Jakarta tak perduli ketika pemerintah melarang SBSI bergerak. Sebab walau pun bergeraknta di sektor perburuhan, tak pelak SBSI menjadi issu politik yang hangat ketika itu. SBSI menjadi kepundan yang menggelegar di tengah heningnya politik Indonesia. Dan karena itu pemerintah menjadi kerepotan. Repot karena dilarang tetapi tidak bisa dihentikan. Apalagi pemerintah mengendus di belakang SBSI ada diskusi panjang sejumlah organisasi yang melahirkan SBSI. Yakni; LPBH FAS ( lembaga Penyadaran dan Bantuan Hukum Forum Adil Sejahtra), NU, PGI, YBKS Solo ( Yayasan Bimbingan Kesejahteraan Sosial dan Yayasan Komunikasi. Di antara dedengkot irganisasi tsb yg intens Diskusi al, dr. Suko waluyo, Saham Surait, Gus Dur, Suryadi ( Ketua Umum PDI saat itu), Yosep Widya atmadja, F. Raintung. Diskusi berlangsung lama mencermati keadaan politik yang membuat buruh sangat terpuruk. Memang ada SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) tetapi itulah sislnya organisasi yang dibentuk atas restu penguasa. SPSI dalam kegiatannya justru dominan membela pengusaha daripada buruh. Maka melalui diskusi panjang, diputuskanlah pembentukan SBSI sebagai alternatif.
Di bawah tekanan yang sangat kuat, SBSI tetap jalan dan dalam waktu singkat bisa membentuk cabang-cabang. Buruh mulai sadar tentang hak-hak mereka yang sebelumnya mereka tidak pernah tahu. Dan atas kesadaran itulah, 14 April 1994, Amosi Telaumbanua dengan rasa percaya diri setelah berkonsultasi dengan Muchtar Pakpahan berani memimpin pemogokan Buruh yang melumpuhkan Kota Medan selama 2 hari. Inilah pertama kali gerakan massa yang berskala besar dan resonansi politiknya luar biasa, sejak kampus terkunci oleh NKK. Jadi justru burulah melalui SBSI yang secara konkrit menjadi mesin pemutar Reformasi setelah Petisi 50. Tetapi walaupun juga be resonansi luas, Petisi 50 hanya berupa gagasan. Beda dengan SBSI yang memang bergerak secara progresif.
Issu Buruh menjadi issu politik yang sangat mengganggu penguasa Orde Baru. Apalagi sebelumnya Marsinah pemimpin Buruh di Sidoarjo disiksa dan meninggal. Itulah sebabnya pemogokan Buruh di Medan membuat penguasa berang. Maka Pangdam Bukit Barisan Mayjen Edy Pramono dan Kasum ABRI HBL Mantiri menginstruksikan penangkapan dan tembak di tempat kepada Amosi Telaumbanua dan kawan-kawan. Tetapi Muchtar tidak gentar, majalah Forum membuat fotonya sebagai cover depan dengan statemen siap digantung. Keberanian Muchtar memang tiada duanya. Tetapi pemerintah juga berhitubg karena semua organisasi Buruh sedunia mendukungnya. Bahkan byruh pelabuhan Australia sempat mogok tidak mau menurunkan barang dari kapal Indonesia yang berlabuh di sana. Bersama Muchtar Pakpahan sebagai Ketua Umum SBSI akhirnya 87 orang ditangkap dan dijatuhi hukuman secara bervariasi. Tetapi itu sama sekali tidak menghentikan SBSI.
Dan itu semakin memperjelas posisi Buruh sebagai mesin utama penggerak reformasi, jauh sebelum mahasiswa tumpah ke jalan 1998. Lalu mesin ketiga adalah PDI Promeg ( Pro Mega) yang bernasib sama dengan SBSI tidak mendapat restu pemerintah. Tetapi sekalipun tidak direstui Mega pun tidak berhenti. Penguasa terpaksa menggunakan senjata pamungkas untuk menghentikan SBSI dan PDI Promeg yakni disusupi PKI. Tetapi masyarakat sadar akan kelakuan penguasa Orde Baru yang selalu mem PKI kan lawan politiknya. Tetapi anehnya SBSI dan terlebih PDI Promeg, semakin dituduh PKI justru semakin membesar. Maka besar dugaan, tuduhan PKI terhadap PDI Perjuangan belakangan ini dilakukan antek-antek Orde Baru yang ambisi bangkit lagi.
Jacobus Kamarlo Mayong Padang
Xbata dua empat Juli dia puluh dua puluh.
#Bandung Bersejarah
#Institut Marhaen