Kita harusnya belajar dari banyak negara yang hancur karena politik identitas. Lebanon 15 tahun perang saudara antar agama untuk berebut kekuasaan. Suriah selama 7 tahun perang karena narasi Suni vs Syiah. Afghanistan dikuasai Taliban karena ingin menjadikannya negara agama.
Apalagi ? Banyak. Identitas bukan hanya agama, tapi juga suku dan ras. Rwanda tahun 1994 habis 1 juta jiwa dalam waktu 3 bulan, karena suku Hutu merasa lebih pantas berkuasa dari suku Tutsi. Bahkan di Indonesia kita mengenal konflik Sampit tahun 2001 dan konflik di Ambon, Maluku tahun 1999.
Tahu akar dari semua masalah yang berujung pada banyaknya kehilangan jiwa ? Ya, politik kekuasaan..
Kursi kekuasaan itu memang rasanya manis bagi sebagian orang yang punya sifat tamak. Dengan kekuasaan dia bisa mengontrol banyak hal yang pada akhirnya urusannya adalah kekayaan yang tidak habis dimakan tujuh turunan. Politik, kekuasaan dan bisnis adalah lingkaran setan yang tidak akan pernah habis sampai akhir zaman.
Bangsat kebanggaan agama. Bulshit lah kebanggaan suku dan ras. Semua itu urusannya hanya uang dan uang. Tanya ma Chaplin dan bapaknya Nobita aja kalo gak percaya. Di otaknya hanya ada uang, lain nggak..
Dan untuk membentuk kebanggaan terhadap identitas, dibutuhkanlah simbol-simbol. Simbol itu bisa berupa lambang, bisa juga berupa orang. Dan di negara berkembang yang selalu butuh sosok untuk menyelesaikan masalah besar, biasanya dibangun simbol orang yang dinarasikan sebagai pembebas, revolusioner, wakil dari umat yang tertindas.
Bayangkan, ketika simbol dalam baliho itu dibiarkan, maka akan muncul perlawanan dari komunitas lain yang merasa terancam. Semisal, karena dia sering menghujat agama lain untuk membangkitkan superioritas dalam komunitasnya, maka agama lain yang mayoritas di daerah tertentu bisa bergerak dan melawan.
Dan siapa yang rugi pada akhirnya jika terjadi gesekan ? Ya, masyarakat sipil yang tidak tahu apa2, yang lemah. Mereka inilah korban terbesar dalam sebuah perang. Orang yang sudah tua, wanita dan anak-anak.
Tulisan ini adalah karya pembelajaran jurnalistik mahasiswa STISIP Widuri atas nama AHMAD FAUZI
Kami sangat terbuka bila ada kekurangan dan koreksi, silahkan di masukan pada kolom komentar.