Pengamat politik Citra Institute, Efriza, menyoroti penurunan elektabilitas calon presiden Anies Baswedan pasca diumumkan sebagai tandem Muhaimin Iskandar.
Menurutnya, hal itu terjadi karena masyarakat Nahdlatul Ulama (NU) atau Nahdliyyin yang merupakan basis pemilih PKB tak mau mendukung Anies.
Efriza menjelaskan, Anies sudah identik dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sejak terpilihnya Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta pada 2017. Soalnya Nahdliyyin kerap berselisih dengan PKS. Salah satu penyebabnya adalah sikap pemilih PKS yang kerap memperdebatkan konsep Islam Nusantara yang diusung NU.
“Ada pemisah yang tebal sekali antara NU dengan PKS, ibarat tembok pemisah yang sangat sulit untuk dirubuhkan,” kata Efriza
Menurut dia, kaum Nahdliyyin tentu kecewa langkah politik Muhaimin Iskandar yang memilih berpasangan dengan Anies. Alhasil, kaum Nahdliyyin akan lebih memilih mendukung kandidat capres ataupun cawapres lainnya yang juga merupakan NU.
“Kaum Nahdliyyin menyadari masih banyak tokoh representasi NU yang memungkinkan menjadi cawapres, seperti Khofifah, Mahfud MD, Yenny Wahid, dan Erick Thohir,” kata Dosen Ilmu Pemerintahan di Universitas Sutomo, Serang, Banten itu.
Efriza menambahkan, selain ada tembok penghalang antara Nahdliyyin dan PKS, elektabilitas Anies anjlok juga karena warga NU tidak banyak yang mendukung Muhaimin. Salah satu sebabnya adalah karena Muhaimin berseberangan dengan sejumlah tokoh NU berpengaruh seperti Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf dan putri Gus Dur, Yenny Wahid.
Survei LSI Denny JA pada 4-12 September mendapati elektabilitas Anies turun usai dideklarasikan berpasangan dengan Ketum PKB Muhaimin Iskandar. Elektabilitas Anies yang awalnya 19,7 persen pada Agustus, turun menjadi 14,5 persen pada September.
Adapun survei SMRC (5-8 September 2023) menemukan bahwa baru 20 persen pemilih PKB mendukung Anies. Lain halnya dengan pemilih PKS dan Nasdem yang sudah di atas 50 persen mendukung Anies.
Disarikan Oleh ARS