Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan hukuman untuk pemerkosa anak-anak, DP (35), selama 200 bulan atau 16,5 tahun penjara. DP, yang memperkosa keponakan berusia 10 tahun, sempat divonis bebas oleh hakim tinggi pada Mahkamah Syar’iyah Aceh.
“Mengadili. Membatalkan putusan Mahkamah Syar’iyah Aceh. Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan uqubat penjara selama 200 bulan dikurangi dengan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa,” demikian bunyi petikan putusan MA sebagaimana dikutip detikcom, Kamis (23/9/2021).
Vonis kasasi itu diketok oleh ketua majelis Amran Suadi dengan anggota Purwosusilo dan Yasardin. Majelis kasasi sependapat dengan majelis hakim tingkat pertama Mahkamah Syari’ah Jantho yang menghukum terdakwa selama 200 bulan penjara.
Menanggapi putusan MA soal 200 bulan bui untuk pemerkosa anak tersebut, anggota Komisi III DPR Nasir Djamil memberikan apresiasi kepada majelis kasasi. Menurut Nasir, apa yang telah diputuskan majelis kasasi sudah on the track.
“Kami menghormati dan mengapresiasi putusan majelis hakim terhadap terdakwa DP ini. Secara umum telah memenuhi seluruh isi analisis yuridis sesuai dengan maksud dan tujuan serta ruh dari Qanun Jinayat Nomor 6 Tahun 2014,” kata Nasir saat dihubungi terpisah.
Nasir menilai putusan kasasi sudah tepat dan benar, yaitu demi kepentingan perlindungan anak di atas kepentingan segala-galanya (the best interest of the child). Hal itu tentu telah memenuhi asas kepastian hukum (rechtmatigheid), asas keadilan hukum (gerectigheit), dan asas kemanfaatan hukum (zwech matigheid atau doelmatigheid atau utility).
“Dengan putusan, kami juga berharap menjadi efek jera bagi pelaku, dan pelajaran bagi kita selaku orang tua untuk tidak lengah terhadap predator anak yang kerap menghantui kehidupan kita sehari-hari, karena penyimpanan seksual itu bukan karena ada pelaku dan niat, tapi juga kesempatan,” tutur Nasir.
Politikus PKS itu berharap semua aparat penegak hukum, yaitu polisi, jaksa, dan hakim, tetap berhati-hati dan teliti dalam menangani persoalan anak. Karena aturan yang telah ada itu adalah instrumen hukum untuk memberi perlindungan.
“Harapan kami ke depan, ada sikap cermat dari hakim, agar kasus bebas terdakwa pemerkosa di level putusan banding di MS Aceh menjadi pelajaran agar tidak terulang di kemudian hari, dan putusan hakim agung yang mengadili perkara pada level kasasi perkara a quo hendaknya menjadi yurisprudensi hakim ke depan dalam mengambil keputusan hal ini sesuai dengan asas res judicata pro veritate habetur, yang berarti apa yang diputus hakim harus dianggap benar,” pungkas Nasir.
Disarikan oleh P.