Faktual.id
KOMUNIKASI RAGAM INFO

Mengapa Polisi dan Komnas PA Berbeda, Soal Bocah SD di Gresik Yang Dipalak Sebelum Mata Dicolok

Polisi dan Komite Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) memberikan keterangan berbeda terkait dugaan penganiayaan terhadap SA (8 tahun), bocah tunanetra asal Gresik, yang diduga dipukul dengan tongkat oleh temannya.

Sebelumnya, Kasatreskrim Polres Gresik AKP Aldhino Prima Wirdhan mengatakan, dari 47 saksi yang diperiksa, timnya tidak menemukan informasi yang menunjukkan SA menjadi korban intimidasi atau pelecehan.

“Dari orangtua wali murid, dari siswa-siswa di sana, sampai saat ini belum menemukan keterangan ada perundungan. Tapi pemeriksaan tetap kita lanjutkan,” kata Aldhino dalam jumpa pers yang digelar, Kamis (21/8/2023).

Pernyataan berbeda disampaikan Komnas PA yang menyebut sebelum kejadian penusukan terjadi pada 7 Agustus 2023 lalu korban sudah kerap dipalak di sekolah.

Pejabat sementara (Pjs) Ketua Umum Komnas PA, Lia Latifah mengatakan dari informasi yang didapat pelaku pemalakan tersebut tidak lain merupakan kakak kelas yang menusuk korban.

“Pemalakan ini rupanya menurut korban bukan sekali. Sudah sering dipalak sama kakak kelasnya yang ini tadi,” kata Lia saat dikonfirmasi di Pasar Rebo, Jakarta Timur, Jumat (22/9/2023).

Ironinya tindak pemalakan tersebut selalu terjadi di lingkungan sekolah, tapi luput dari pengawasan pihak sekolah sehingga kasus terus-menerus terjadi hingga mengakibatkan korban trauma.

Padahal menurut Komnas PA dalam Pasal 54 UU Nomor 23 tahun 2022 pihak sekolah atau lembaga pendidikan lain wajib melindungi anak dari segala tindak kekerasan di lingkungan sekolah.

“Sering dimintain uang anak ini sama si pelaku (penusukan) tadi. Jadi ada kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah tapi pihak sekolah tidak mengetahui hal itu,” ujarnya.

Lia menuturkan luputnya kasus kekerasan dialami korban menunjukkan pihak sekolah lalai terhadap pencegahan kasus kekerasan, karena mereka harusnya pro aktif mencegah kasus.

Komnas PA menilai kasus kekerasan yang terjadi di Gresik ini menunjukkan pentingnya anak-anak perlu diberi pemahaman terkait UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.

Pasalnya berkaca pada kasus yang terjadi banyak tindakan anak-anak sudah termasuk dalam kategori pidana atau kriminal, bukan lagi sekedar perbuatan kenakalan anak-anak.

“Makannya UU Sistem Peradilan Anak ini kita sedang coba terus gencarkan. Supaya anak-anak ini ketika dia mau melakukan kejahatan mereka berpikir ulang,” tuturnya.

Sebelumnya, ayah korban, Samsul Arif dalam sebelumnya mengungkapkan selama ini anaknya sering menjadi korban pemalakan temannya.

“Beberapa kali. Sering dimintai (uang) tapi enggak pernah cerita,” ujar Samsul.

Menurut Samsul, anaknya baru mengaku ada pemalakan setelah penusukan.

“Awalnya ya enggak tahu, kan enggak pernah ngaku anak saya. Baru setelah kejadian kemarin saja (ketahuan). Itu pun setelah saya desak, saya tanyai,” ucap Samsul.

Bahkan dari pengakuan SA, anaknya beberapa kali tidak bisa membeli jajanan di sekolah lantaran uang sakunya diminta oleh pelaku.

“Saya kasih uang saku itu Rp 10.000, kadang juga Rp 7.000, kadang diminta semua. Kadang pas sempat dibuat jajan, sisanya itu yang diambil. Tapi kadang enggak jajan sama sekali, karena pas mintanya di awal jadi utuh, diminta semua. Itu pun dia tidak pernah cerita,” kata Samsul.

Temuan Tak Terduga Polisi.

Selain belum menemukan adanya perundungan atau pemalakan, polisi juga mengungkap fakta-fakta terduga.

Berikut diantaranya:

1. Tak ada saksi melihat adanya pencolokan tusuk pentol

Ramai dikabarkan bocah berusia 8 tahun berinisial SA ini tidak bisa melihat setelah dicolok tusuk pentol temannya saat mau dipalak pada 7 Agustus 2023.

Menurut penuturan ayah SA, Samsul Arif, pelaku mulanya menarik tangan SA ke sebuah lorong dan meminta uang.

Permintaan tersebut tak dipenuhi oleh SA dan pelaku diduga menganiaya siswi SD tersebut.

Akibat kejadian itu, korban diduga trauma dan takut masuk sekolah.

Polisi pun langsung turun tangan mengusut kasus ini hingga terakhir memeriksa 47 saksi dari pihak sekolah, korban, teman korban hingga wali murid.

Kapolres Gresik AKBP Adhitya Panji Anom menututrkan dari semua ketarangan yang dikumpulkan, belum ada yang melihat langsung kejadian pencolokan tusuk pentol seperti yang diakui keluarga SA.

“Terkait peristiwa tersebut (kekerasan di sekolah), kami akan terus menambah jumlah saksi untuk menambah keterangan,” ungkapnya.

2. Tak ada bercak darah di baju korban

Sementara pada saat kejadian, Samsul menceritakan, putri sulungnya tersebut dibawa oleh salah seorang tetangganya yang kebetulan menjemput anaknya pulang sekolah.

Saat itu kondisi SA sudah berlumuran darah.

“Untuk yang bawa pulang kemarin tetangga saya, kebetulan punya anak satu kelas dan biasa pulang bareng. Terus kemudian anak saya cerita, tadi di sekolah sempat dianiaya. Setelah kejadian itu kemudian saya tanya, dia mengaku memang sering dimintai uang dan selama ini tidak pernah cerita,” tutur Samsul.

Hal ini lah yang membuat Samsul terus mencari tahu kebenaran kasusnya.

Namun, pernyataan berbeda kembali diungkapkan  Kasatreskrim Polres Gresik AKP Aldhino Prima Wirdhan.

“Baju yang kami sita, tidak kami temukan ada bercak darah,” tegas Aldhino.

3. CCTV Mati 

Ternyata, CCTV SD Negeri 236 Gresik tidak merekam dugaan aksi pemalakan berjung colokan tusuk pentol yang menimpa SA di sekolah.

Berdasarkan hasil uji laboratorium forensik Polda Jatim, CCTV tersebut terakhir kali aktif pada awal 1 Juni 2023.

Setelah itu, CCTV dalam kondisi mati sampai dengan 18 Agustus 2023.

“DVR dinyatakan dalam bahasa lain selama kurun waktu 1 Juni 2023 hingga 18 Agustus 2023. DVR CCTV tidak merekam situasi kejadian yang ada di lingkungan sekolah dikuatkan data lock file di DVR tidak ada,” beber Kapolres Gresik AKBP Adhitya Panji Anom, Kamis (21/9/2023).

Kapolres Gresik AKBP Adhitya Panji Anom menututrkan dari semua ketarangan yang dikumpulkan, belum ada yang melihat langsung kejadian pencolokan tusuk pentol seperti yang diakui keluarga SA.

“Terkait peristiwa tersebut (kekerasan di sekolah), kami akan terus menambah jumlah saksi untuk menambah keterangan,” ungkapnya.

4. Hasil MRI tidak ada tanda kekerasan

Hasil pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging) di RS PHC Surabaya mengungkap tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan di mata SA (8).

Fakta ini menguatkan hasil visum yang telah dilakukan RSUD Ibnu Sina Gresik pada mata SA beberapa waktu lalu.

Dokter Spesialis Mata dari RSUD Ibnu Sina Gresik dr Bambang Tuharianto mengungkapkan, hasil MRI SA mengalami penurunan penglihatan di sebelah mata kanan.

“Jadi pengelihatan yang dikeluhkan betul, terjadi penurunan pengelihatan di mata kanan. Mata kiri batas normal untuk melihatnya,” terang dr Bambang, Kamis (21/9/2023).

Diungkapkan, hasil pemeriksaan fisik di RSUD Ibnu Sina tidak ditemui kelainan apapun.

“Pemeriksaan MRI tidak didapatkan kelainan apapun, kelainan-kelainan saraf tidak ada secara anatomi komponen-komponen melihat ini bekas terjadi kekerasan itu saja,” beber dr Bambang, Kamis (21/9/2023).

Dikatakannya seluruh yang berhubungan dengan penyebab gangguan sudah  dilakukan pemeriksaan.

“Tidak ada satupun yang menyebabkan, ini tidak ketemu apa-apa,” katanya.

Terkait dengan penyembuhan mata korban, dr Bambang Tuharianto tidak bisa memastikan. Karena kesembuhan bagian dari reaksi obat.

Sebelumnya, hasil visum yang dikeluarkan RSUD Ibnu Sina Gresik mengungkap tidak adanya pendarahan pada sobekan mata SA.

Selain itu, hasil visum pelendir bola mata juga dalam keadaan normal dan tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan.

 

Disarikan Oleh ARS

Sumber

 

Related posts

Eropa Kembali Menjadi Episenter Pandemi Virus Corona

Tim Kontributor

Hajjah Rangkayo Rasuna Said, ‘Singa Betina’ yang Hidup di Tiga Masa

Tim Kontributor

Pengurus Partai Gerindra Dilantik Jadi KPPS, Kok Bisa ?

Tim Kontributor

Leave a Comment