Berbagai negara yang selalu membela junta militer Myanmar kini mulai memberi tekanan. Rusia misalnya untuk pertama kali buka suara mengenai kekerasan aparat keamanan terhadap demonstran antikudeta.
“Ini bukan berarti kami dapat menerima kejadian tragis yang terjadi di negara ini. Kami sangat khawatir dengan peningkatan jumlah korban sipil,” ujar Peskov saat menghadiri parade militer di Myanmar, dikutip pada Jumat (2/4).
Saat Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggelar rapat darurat untuk merespons pergolakan di Myanmar pada Rabu (31/3), China memang pasang badan dan menekankan bahwa sanksi hanya akan menambah runyam keadaan.
“Sekarang, China punya banyak kepentingan di Myanmar dan mereka tahu bahwa kepentingan ini tidak akan aman hanya dengan mendukung militer,” ujar Kyaw kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon pada Kamis (1/4).Kendati demikian, seorang peneliti sekaligus Direktur Eksekutif Burma Human Rights Network (BHRN) yang berbasis di Inggris, Kyaw Win, tetap melihat pergerakan berbeda dari China dalam beberapa tahun belakangan.
Kyaw lantas membahas bahwa BHRN mulai mencium indikasi China mendukung salah satu aliansi milisi etnis bersenjata di utara Myanmar yang dikenal dengan sebutan Northern Alliance alias Aliansi Utara.
“Yang kami lihat adalah China juga mendukung milisi etnis di Myanmar, seperti Aliansi Utara yang sangat kuat. Mereka menyebar di segala penjuru dan mereka didukung China,” tutur Kyaw.
“Kedekatan” antara China dan Aliansi Utara mulai terendus sejak sekitar 2016. Saat itu, Aliansi Utara melakukan gempuran balasan terhadap militer Myanmar di Muse, daerah perlintasan di perbatasan China dengan nilai perdagangan mencapai US$4 miliar per tahun.
Sejak China sepakat, sejumlah petinggi Aliansi Utara sudah beberapa kali ke Beijing untuk perundingan damai. Kedua belah pihak pun dilaporkan mulai menjalin hubungan baik demi kepentingan masing-masing, meski China selalu membantah laporan mengenai kedekatan ini.
“Namun, mereka sekarang seharusnya bersatu dengan aliansi milisi etnis lainnya dari kawasan lain di bawah satu bendera dan meluncurkan serangan dari segala arah agar militer melemah.”Menurut Kyaw Win, Aliansi Utara memiliki kekuatan tangguh, terutama karena formasinya diperkuat dengan empat kelompok milisi etnis yang besar. Bermodal SDM, senjata, sumber daya lain, Aliansi Utara dapat bertahan hingga 17 tahun.
Belakangan, sejumlah kelompok milisi bersenjata di daerah lain memang mulai mendeklarasikan penolakan terhadap junta militer.
Tentara Independen Kachin, salah satu milisi di daerah perbatasan dengan Thailand, Kachin, bahkan sudah melancarkan serangan terhadap aparat.
Militer pun menggempur Kachin dengan serangan udara yang membuat sekitar 3.000 orang kabur ke Thailand. Kyaw menganggap serangan-serangan dari kelompok milisi semacam ini akan melemahkan junta yang juga sedang sibuk menangani demonstrasi.
“Mereka melemah. Mereka tidak bisa melawan semua dalam satu waktu. Sekarang, semua milisi etnis dari utara, timur, selatan, barat, semua milisi dengan kekuatan bersenjata besar itu mulai bersatu melawan militer Myanmar,” kata Kyaw.
Militer Myanmar memang terbukti kewalahan. Pada Kamis (1/4), mereka bahkan menawarkan gencatan senjata kepada sejumlah milisi bersenjata.
Ketika militer kewalahan di dalam negeri, menurut Kyaw, tekanan dari komunitas internasional akan lebih terasa, apalagi jika negara-negara terus menerapkan sanksi baik secara unilateral maupun multilateral.
“Ketika militer lemah, kekuatan internasional baru bisa masuk secara efektif. Militer tidak bisa memenangkan pertarungan ini. Mereka terlalu lemah,” kata Kyaw.