Belakangan ini marak pemberitaan mengenai penyusunan rancangan peraturan pemerintah tentang pengelolaan Aparatur Sipil Negara (ASN), termasuk peraturan tentang jabatan ASN yang boleh diambil oleh prajurit TNI dan Polri, seperti yang disampaikan Menteri Luar Negeri. Reformasi administrasi dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Abdullah Azwar Anas dalam siaran pers resmi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Selasa (3 Desember).
Tentu adanya wacana mengenai pengisian jabatan ASN yang bisa diisi oleh TNI dan Polri ini akan mencederai cita-cita dan amanat Reformasi. Sejarah telah mencatat, dalam peristiwa Reformasi 1998, massa mengumandangkan beberapa agenda reformasi, yang salah satu di antaranya adalah menuntut terkait penghapusan dwifungsi ABRI. Hingga akhirnya, tuntutan-tuntutan agenda reformasi terkabul karena rezim otoriter, di bawah komando Presiden Soeharto, harus musnah karena ‘dikoyak-koyak’ oleh massa kala itu, yang terdiri dari pelbagai unsur –mahasiswa, dosen, tokoh bangsa, dan masyarakat.
Pertanyaan dan Kegelisahan
Presiden Jokowi kerap digaung-gaungkan sebagai tokoh yang lahir dari ‘rahim’ Reformasi 1998. Bahkan, ada juga yang mengatakan bahwa Presiden Jokowi lahir dari rahim rakyat dan anak kandung demokrasi. Terdengar hiperbola memang, tetapi jika diperhatikan memang benar adanya. Tetapi, dengan adanya wacana kembalinya dwifungsi ABRI (sekarang TNI dan Polri), setelah sekian lama mati, menimbulkan pertanyaan dan kegelisahan. Bagaimana bisa, seorang anak kandung Reformasi ‘mengangkangi’ amanat dan cita-cita reformasi itu sendiri?
Presiden Jokowi yang sering dianggap sebagai produk Reformasi seharusnya memahami betapa pentingnya menjaga integritas reformasi tersebut. Peran serta masyarakat, termasuk mahasiswa, tokoh bangsa, dan elemen-elemen lainnya dalam ‘menggulung’ rezim otoriter pada masa lalu bukanlah sesuatu yang bisa dianggap enteng. Membiarkan dwifungsi ABRI kembali merupakan langkah mundur yang berpotensi mengancam fondasi demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah.
Dwifungsi ABRI, dengan campur tangan militer dalam urusan sipil, bisa menimbulkan banyak penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pengalaman masa lalu harus menjadi pelajaran berharga bagi pemerintahan saat ini. Kembali pada praktik lama yang telah dikecam oleh rakyat Indonesia merupakan pengkhianatan terhadap semangat Reformasi yang seharusnya terus dijaga dan diperkuat.
Kritik dan penolakan terhadap wacana ini harus terus diutarakan secara terbuka oleh seluruh elemen masyarakat yang berkomitmen untuk menjaga demokrasi dan memperjuangkan keadilan. Keberhasilan Reformasi 1998 tidak boleh disia-siakan dengan keputusan yang mengancam kembali ke era kelam tersebut. Tentu, dwifungsi ABRI bisa menimbulkan preseden yang buruk bagi bangsa Indonesia ke depan.
Fokus pada Reformasi Birokrasi
Fokus pemerintahan saat ini seharusnya pada reformasi birokrasi yang sesuai dengan semangat Reformasi 1998, bukan pada mengembalikan dwifungsi ABRI. Reformasi birokrasi yang sesuai dengan semangat reformasi akan membawa perubahan yang positif dalam pelayanan publik, meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi dalam pengelolaan negara.
Pemerintah seharusnya berupaya untuk memperkuat lembaga sipil dalam menjalankan tugas dan fungsi mereka, tanpa campur tangan dari pihak militer. Mengizinkan prajurit TNI dan Polri untuk mengisi jabatan ASN hanya akan membuka pintu bagi potensi penyalahgunaan yang buruk.
Jika pemerintah ingin melanjutkan Reformasi, maka harus diarahkan pada peningkatan kualitas layanan publik, pemberantasan korupsi, penguatan lembaga-lembaga, serta membawa Indonesia ke arah meritokrasi. Hal ini akan membawa Indonesia menuju arah yang lebih baik, sesuai dengan semangat perubahan yang telah diperjuangkan oleh rakyat pada masa Reformasi 1998.
Reformasi TNI dan Polri
TNI seharusnya fokus pada agenda reformasi institusinya yang bertujuan memperkuat profesionalisme dan efektivitas militer, bukan terlibat dalam urusan sipil yang seharusnya menjadi domain pemerintahan sipil. Pentingnya profesionalisme militer memastikan bahwa TNI tetap terfokus pada tugas-tugas militernya yang utama, yakni mempertahankan dan melindungi kedaulatan negara.
Prajurit TNI dididik dan dilatih untuk bertempur dalam situasi perang serta menjaga keamanan negara, bukan mengelola urusan sipil yang merupakan tanggung jawab pemerintah sipil. Prinsip pemisahan antara militer dan pemerintahan sipil adalah dasar penting bagi negara demokratis. Terlibatnya militer dalam urusan sipil dapat mengancam prinsip demokrasi dan mengurangi kredibilitas pemerintahan sipil. Selain itu, melibatkan TNI dalam urusan sipil akan mengalihkan fokus dan sumber daya dari tugas-tugas militernya yang utama.
Di sisi lain, reformasi Polri juga penting karena merupakan pilar penting dalam memperkuat fondasi demokrasi dan pemerintahan yang bersih di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam penegakan hukum. Dengan memperbaiki sistem pengawasan dan memperkuat mekanisme pertanggungjawaban, Polri dapat menjadi lebih dapat dipercaya dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Selanjutnya, reformasi Polri membawa harapan untuk meningkatkan integritas dan moralitas di dalam institusi kepolisian. Reformasi Polri juga bertujuan untuk memastikan bahwa penegakan hukum dilakukan secara adil dan berkeadilan bagi semua warga negara. Dengan memperbaiki prosedur penyidikan dan pengadilan. Adanya reformasi Polri ini mencakup upaya untuk memperbaiki hubungan antara kepolisian dan masyarakat.
Melalui pendekatan komunitas dan pemberdayaan masyarakat, Polri dapat membangun kepercayaan dan kerja sama yang lebih baik dalam memerangi kejahatan dan menjaga ketertiban. Terakhir, reformasi Polri menekankan pada peningkatan profesionalisme dan kualitas sumber daya manusia dalam kepolisian, sehingga bisa menghasilkan aparat yang lebih kompeten dan berintegritas dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Dengan demikian, reformasi TNI dan Polri menjadi penting dalam menjaga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga TNI dan kepolisian serta memastikan bahwa keduanya dapat menjalankan tugas-tugasnya sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan perlindungan HAM.
Disarikan Oleh ARS