Sebagai generasi dengan predikat populasi terbanyak, para milenial dan Gen Y kerap diidentikkan dengan kaum rebahan. Sayangnya, istilah kaum rebahan justru menimbulkan stereotip negatif terhadap para milenial. “Malas, tidak produktif, melewatkan kesempatan, tidak mempunyai target, serba instan, tidak menghasilkan apa-apa.” Setidaknya poin-poin tersebut yang saya dapatkan ketika surfing di internet mengenai kaum rebahan. Begini kira kira obrol-obrolan para generasi rebahan saat ini, dan analisanya.
Ginii loh, istilah produktif kan sering banget digunakan buat menggambarkan aktifitas yang menghasilkan output. Tapi, output ini ga melulu bicara sesuatu yang nyata. Contohnya nih, Baca buku. Aktifitas yang keliatan nya kaya orang ngambek ini sesungguhnya tidak menghasilkan output nyata dalam bentuk fisik kaya kita lagi nyuci baju atau ngepel lantai. Tapi, dari buku kita bisa jadi tau pengetahuan baru.
Aktifitas ini juga kemungkinan besar bisa meningkatkan pola pikir kita. Dan,yang paling penting, aktifitas ini bisa kita lakukan sambil rebahan hehehehe.
Tapi harus kita akui juga, rebahan anak-anak kekinian itu santuy banget. Semisal, sambil main game di handphone, julid di Twitter, ngintip instastory mantan, balas chat gebetan, hingga nonton video di YouTube. YouTube lebih dari TV. Boom!
Meskipun kegiatan itu lama-lama bisa membosankan dan muncul perasaan gabut, tetap aja masih digandrungi karena kegiatan di sekolah/kampus atau kantor menjadi alasan yang cukup untuk merebahkan diri.
Kamu yang termasuk hobi rebahan dan pernah dimarahin gara-gara ketahuan sama orangtua lagi rebahan di kamar sambil megang handphone, pasti sebal karena dibilang kerjaannya cuma tidur-tiduran nggak menghasilkan apa-apa. Iya kan?
Nah, kalau memang cuma scroll timeline, namatin story dan explore Instagram, ya berarti orangtua kamu ada benarnya. Tapi kalo dari aktivitas di media sosial juga bagian dari produktivitas kamu sebagai anggota sponsorship dari acara sekolah/kampus atau sebagai freelancer yang menghasilkan duit, atau sebagai aktivis yang mengorganisir dan mengkritik kebijakan keblinger, ya sah-sah aja sih.
Ini juga nunjukin kalo dalam satu aktivitas yang sama bisa punya arti yang berbeda. Bias bukan? Nah, contoh-contoh kaya begini yang sering ngga terlihat oleh generasi-generasi sebelum kita. Yang ujung-ujungnya paling disuruh nyapu kalau nggak bantuin masak.
Nah, yang perlu dicermati sekarang adalah gimana aktivitas rebahan itu ngga semata-mata dijadiin legitimasi kemalasan. Apalagi, sampe menghabiskan waktu berjam-jam di atas kasur. Bukan pada makna esensialnya yang merupakan waktu istirahat dari aktivitas yang padat.
Bahkan, ada indikasi rebahan ini dijadikan sebagai identitas yang tujuan nya hanya mengikuti tren. Seperti tulisan dalam kertas karton yang ditunjukkan oleh demonstran, belum lama ini: “Sudah kelewatan kalau kaum rebahan turun ke jalan!” Sebetulnya ngga ada yang salah dari pernyataan itu, tapi kok terasa seperti mengkultuskan, ya?
Saya jadi inget sekitar satu dekade lalu waktu televisi lagi jaya-jayanya. Ada sinetron bergenre komedi, dimana salah satu scene-nya si aktor berkata, “Bentar ah, gue mau rebahan dulu… dua jam.” Saya pun tertawa karena waktu itu rebahan cuma dilakukan dalam waktu yang relatif singkat, rata-rata ngga lebih dari satu jam.
Tapii, satu dekade kemudian, aktivitas rebahan berubah sedemikian rupa. Mulai dari durasinya sampe sampe menyentuh ranah identitas dengan berbagai julukan, salah satunya kaum rebahan. Kalau begini, bisa jadi 10 tahun lagi durasi rebahan bisa sampai 2 hari deh.
Aktivitas rebahan ini seharusnya menjadi cara baru untuk tetap produktif, meskipun terlihat tidak produktif. Karena , generasi sekarang memiliki akses terhadap internet yang mendorong mereka untuk mendapatkan bahkan menghasilkan sesuatu dari dalamnya. Tetapi, dengan ‘table manner’ yang salah, aktivitas ini terkadang hanya dijadikan sebagai tameng kemalasan.
Makanya, rebahan jangan rebahan kalau tiada artinya… hehehehehe
Penulis: Endro Aji Mahasiswa STISIP Widuri