Para dokter dari CUB-Erasme Hospital, Brussel, Belgia berhasil melakukan eksperimen terhadap seorang wanita dengan luka akibat infeksi superbug atau bakteri yang sudah kebal terhadap antibiotik.
Wanita tersebut mengaku telah menjalani perawatan antibiotik dengan menularkan virus untuk menyembuhkan luka infeksi ini selama hampir dua tahun.
Menurut studi yang telah dipublikasikan di jurnal Nature Communications pada 18 Januari 2022 lalu ini, para dokter menggunakan terapi eksperimental dengan melibatkan virus yang menginfeksi bakteri, yang dikenal sebagai bakteriofag atau fag.
Melansir Live Science, para peneliti menyebut kombinasi antibiotik dan terapi bakteriofag tampaknya berhasil menyembuhkan luka infeksi tersebut.
“Beberapa hari setelah perawatan, luka pasien sudah kering. Nanah tidak lagi keluar dari luka, dan kulit berubah warna dari keabu-abuan menjadi merah muda,” terang penulis utama studi, Dr Anasis Eskenazi. Dijelaskan Eskenazi, tiga bulan setelah terapi fag tim dokter tidak menemukan tanda-tanda superbug yang tersisa pada luka. Kemudian, tiga tahun pasca pengobatan, infeksi bakteri tampaknya muncul lagi.
Pasien yang terlibat dalam kasus ini mengalami infeksi superbug setelah menjalani operasi di paha kirinya. Tulang pahanya patah karena pengeboman yang terjadi di Bandara Brussel pada Maret 2016 silam. Sejak saat itu, dokter menggunakan pin, sekrup, dan rangka untuk memperbaiki tulang di tempatnya setelah merawat luka traumatisnya yang lain. Akan tetapi, luka operasinya terinfeksi bakteri Klebsiella pneumoniae.
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) bakteri ini menyebabkan berbagai infeksi pasca-perawatan. Kemungkinan, wanita tersebut terpapar kuman ketika menggunakan ventilator, menerima obat melalui infus, maupun menjalani operasi. “Setelah tiga bulan di rumah sakit, pasien telah menjalani berbagai rejimen antibiotik tetapi fraktur femur masih belum bergabung dan infeksi masih ada,” ujar Eskenazi.
Pada saat itu, tim medis mulai mempertimbangkan terapi fag untuk wanita tersebut. “Tiga tahun setelah pengobatan kombinasi fag-antibiotik, pasien bisa melakukan aktivitas dengan bantuan kruk, dan mengikuti acara olahraga seperti bersepeda. Dan tidak ada tanda-tanda infeksi Klebsiella pneumoniae berulang,” kata penulis studi.
Untuk keberlanjutan studi, profesor ecology and evolutionary biology di Yale University, Paul Turner menuturkan bahwa dokter perlu mengumpulkan lebih banyak data melalui uji klinis skala besar untuk mengetahui bagaimana terapi bakteriofag bekerja dengan baik pada kasus serupa.
“Di masa depan terapi fag bergantung pada banyak data dari uji klinis,” ujar Turner. Di sisi lain, menurut laporan tahun 2017 di World Journal of Gastrointestinal Pharmacology and Therapeutics, konsep pengobatan dengan virus untuk membunuh bakteri sendiri sudah lama digunakan, bahkan sebelum ditemukannya penisilin di tahun 1928.
Namun, pemahaman para ilmuwan tentang terapi fag pada saat itu masih sangat terbatas. Setelah penemuan dan produksi farmasi antibiotik, terapi tersebut sebagian besar ditinggalkan.
Ketertarikan pada terapi bakteriofag muncul kembali dalam beberapa dekade terakhir, ketika para ilmuwan mulai mencari strategi baru untuk mengalahkan superbug yang kebal antibiotik. Hingga kini, banyak kelompok penelitian terus mempelajari terapi fag lalu menguji coba pengobatan pada manusia dengan hasil yang bervariasi. Disarikan Oleh MSLP
Sumber