Sebelum musim 2020/2021 dimulai, Liverpool masih dijagokan menjadi favorit utama juara Liga Inggris. Tak berlebihan memang prediksi ini. Walau klub-klub lain berbenah, namun Liverpool tetap dianggap terlalu tangguh. Apalagi mereka mendatangkan Diogo Jota dan Wolves, Thiago Alcantara dari Bayern Muenchen dan beberapa pemain lain.
Awal musim semua berjalan dengan cukup baik, sesuai prediksi. Tidak terlalu banyak ancaman berarti dari Manchester City, Chelsea, Manchester United, Tottenham Hotspurs, apalagi Arsenal. Liverpool cukup nyaman berada di puncak tanpa gangguan berarti.
Skuad Juergen Klopp ini masih bisa bertarung dengan tangguh walau diterpa berbagai cobaan. Mulai dari beberapa pemain terpapar Covid-19 hingga cedera yang tak kunjung henti. Namun tetap saja mereka tidak terganggu di puncak karena di awal musim mereka sudah menang sprint. Namun ternyata itu semua belum cukup.
Petaka mulai datang ketika di luar dugaan Aston Villa menghancurkan reputasi Sadio Mane dan kawan-kawan. 5 September lalu, Jack Grealish memimpin rekan-rekannya mengalahkan Liverpool dengan skor yang sangat mencolok 7-2. Sebuah pertanda bagi seluruh klub di Inggris bahwa Liverpool sama sekali tak sempurna, dan bisa dikalahkan. Posisi puncak ternyata bisa digoyang.
Juergen Klopp tentu tidak diam saja, mereka berusaha bangkit, dan cukup berhasil. Mereka bangkit dan merampas poing di pekan-pekan berikutnya. Puncak ketangguhan Liverpool adalah saat menghajar Cristal Palace 7-0 pada 19 Desember lalu. Sayangnya hari itu juga menjadi titik balik Liverpool kemudian terjun bebas.
Sejak hari itu, mereka tiba-tiba kesulitan mencetak gol, apalagi mencatat kemenangan. Sistem yang dibandung Juergen beberapa tahun terakhir seolah berantakan, ada error di dalamnya. Mereka masih menguasai jalannya pertandingan, namun skor susah berpihak pada mereka. Itu terlihat pada pertandingan lawan WBA, New Castle, Soton, Manchester United, dan Burnley.
Pertandingan-pertandingan itu bak pengulangan. Jalannya pertandingan sangat mirip. Liverpool menguasai lapangan, shot berjumlah belasan sampai puluhan, namun hanya hitungan separuh jari yang on goal. Saat diserang balik, justru tim lawan yang bisa menciptakan peluang yang lebih bagus dari peluang terbaik Liverpool.
Apa yang terjadi pada squad ini? Apa benar karena faktor Virgil Van Dijk cedera? Sepertinya tidak juga, karena ketika Virgil masih fit, rata-rata Liverpool kebobolan lebih banyak. Kelelahan? Hmm, tim lain pasti juga mengalami hal yang sama.
Sebagai tukang analisa gembel, saya menduga ada grup chat Whatsapp klub Liga Premier Inggris yang tidak mengundang Liverpool. Di sana mereka membongkar kelemahan Liverpool, dan saling berbagi tips untuk menahan gempuran Mo Salah dan kawan-kawan. Terbukti gaya mainnya rata-rata mirip semua. Tidak butuh waktu lama untuk membuat Liverpool terjun ke posisi empat setelah sekian lama berada di puncak.
Hehehe, bercanda ya. Ini cuma uneg-uneg fans Liverpool yang patah hati dan berusaha menghibur diri. Tulisan ini dibuat beberapa hari menjelang Liverpool melawan Tottenham. Semoga partai lawan Spurs menjadi titik balik kebangkitan!
Penulis: Willy Fahrezi J Tobing, Mahasiswa STISIP WIDURI