Beberapa negara di Asia melaporkan penurunan populasi karena rendahnya angka kelahiran akibat resesi intim, yakni fenomena menunda pernikahan dan memiliki anak.
Beberapa negara bahkan telah mewaspadai kondisi tersebut dan menjadikannya sebagai kondisi darurat nasional yang perlu segera diatasi.
Dikutip dari The Guardian (21/3/2024), resesi intim menjadi “bom waktu” ancaman populasi yang dihadapi negara-negara Asia, khususnya wilayah Asia Timur.
Kondisi ini disebabkan masyarakat di Asia Timur mengalami penuaan yang cepat hanya dalam beberapa dekade, setelah industrialisasi pesat.
Meskipun banyak negara Eropa juga menghadapi tingginya populasi menua, namun kecepatan dan dampak perubahan tersebut dapat dimitigasi dengan migrasi.
Namun, negara-negara di Asia, seperti Korea Selatan, Jepang, dan China enggan menjalankan kebijakan migrasi besar-besaran untuk mengatasi penurunan populasi usia produktif, karena mempertimbangkan kondisi dalam negeri.
Para ahli memperkirakan, pergeseran pola demografi global akibat resesi intim, khususnya di Asia dipengaruhi beberapa faktor.
Di antaranya tuntutan budaya kerja yang tinggi, stagnasi upah selama beberapa tahun terakhir, kenaikan biaya hidup, perubahan cara pandang terhadap pernikahan, kesetaraan gender, serta menurunnya tingkat kepuasan hidup generasi muda.
Meski demikian, masih ada beberapa negara di Asia yang mengalami resesi intim mulai berupaya menanggulangi masalah ini secara berkelanjutan, salah satunya dengan memberikan program dan bantuan bagi warganya.
Lantas, mana saja negara di Asia yang mengalami resesi intim?
Negara-negara yang alami resesi intim di Asia Berikut beberapa negara yang mengalami krisis populasi karena resesi intim di Asia:
- Jepang
Sebuah survei dari Asosiasi Keluarga Berencana Jepang (JFPA) menemukan, sebanyak 48,3 persen pasangan menikah di Jepang tidak melakukan hubungan intim. Angka tersebut meningkat dari sebelumnya 31,9 persen, ketika survei dimulai pada 2004.
Sejumlah pasangan suami istri di sana mengaku memiliki kehidupan pernikahan yang baik-baik saja, terlepas dari jarang atau tidaknya mereka berhubungan intim.
Selain itu, penelitian lain yang dilakukan JFPA selama 20 tahun mengungkapkan alasan pasangan suami istri Jepang jarang berhubungan intim meski sudah menikah.
Dari penelitian, sebanyak 22,3 persen perempuan di seluruh Jepang tidak melakukan hubungan intim karena menganggap aktivitas tersebut “mengganggu”.
Ada juga yang menyebut 17,4 persen perempuan terlalu lelah bekerja, sehingga tidak memiliki waktu untuk melakukan hubungan intim.
Dikutip dari CNN, beberapa hal yang membuat Jepang mengalami depopulasi di antaranya kultur sibuk bekerja, sehingga hanya segelintir orang punya waktu untuk membangun keluarga.
Selain itu, biaya hidup yang mahal jika memiliki bayi di tengah kondisi ekonomi global yang tidak stabil menjadi pertimbangan anak muda untuk enggan punya momongan.
Selain itu, budaya tabu dalam membincangkan kesuburan dan norma patriaki yang merugikan ibu pekerja jika kembali mencari nafkah setelah melahirkan juga menyuburkan fenomena resesi intim.
Pemerintah Jepang tidak tinggal diam melihat kondisi ini. Mereka menggandakan anggaran untuk menjamin kesejahteraan dan pendidikan anak. Namun, sejauh ini efek kebijakan tersebut belum terasa karena dianggap belum mengatasi akar persoalan lainnya.
- Korea Selatan
Korea Selatan dilaporkan menjadi salah satu negara dengan angka kelahiran terendah, imbas resesi intim yang terjadi di negara tersebut.
Data menunjukkan, Korea Selatan hanya memiliki tingkat kesuburan wanita (fertility rate) sebesar 0,72 kelahiran pada 2023. Jumlah ini turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 0,72 kelahiran.
Meski mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, namun negara tersebut masih membutuhkan tingkat kesuburan 2,1 untuk mempertahankan populasi yang stabil, tanpa adanya migrasi.
Pemerintah Korea Selatan bahkan berencana membentuk kementerian baru untuk mengatasi “darurat nasional” karena tingkat kelahiran yang sangat rendah di negara tersebut, ketika negara tersebut bergulat dengan krisis demografi yang semakin parah.
“Kami akan mengerahkan seluruh kemampuan bangsa untuk mengatasi rendahnya angka kelahiran yang dapat dianggap sebagai darurat nasional,” ujar Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, dikutip dari CNN (9/5/2024).
- Thailand
Resesi intim tak hanya terjadi di negara-negara Asia Timur, namun terjadi di negara kawasan Asia Tenggara, salah satunya Thailand.
Pada September 2023, Survei National Institute of Development Administration (NIDA) Thailand menunjukkan, sebanyak 44 persen responden mengaku kurang berminat memiliki anak.
Alasan utamanya karena biaya pengasuhan anak yang semakin tinggi dan ketidakinginan terbebani dengan kewajiban mengasuh anak.
Selain karena biaya pengasuhan yang tinggi, penurunan angka kelahiran juga meningkatkan demografi orang lanjut usia (lansia) di Thailand.
Lansia berusia 60 tahun ke atas tercatat sudah mencakup seperlima dari total populasi penduduk di Thailand.
Selain itu, Thailand juga memiliki tingkat kesuburan yang tergolong rendah, yakni berada di 1,08 kelahiran sepanjang 2023.
Wakil Perdana Menteri Thailand, Somsak Thepsutin menyampaikan, apabila kondisi tersebut tak segera diatasi, maka populasi Thailand bisa berkurang setengahnya, dari saat ini 66 juta menjadi 33 juta hanya dalam waktu 60 tahun.
- China
China melaporkan rekor angka kelahiran rendah pada tahun 2023 karena populasinya menyusut selama dua tahun berturut-turut.
Tren ini menandai semakin dalamnya tantangan demografi yang akan berdampak signifikan terhadap negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia tersebut.
Biro Statistik Nasional China (NBS) mencatat, ada 6,39 kelahiran per 1.000 orang. Jumlah ini turun dari 6,77 kelahiran pada tahun sebelumnya.
Selain itu, angka kelahiran tersebut juga menjadi yang terendah sejak berdirinya tahun 1949.
Dikutip dari CNN (17/1/2024), ada sebanyak 9,02 juta bayi lahir, dibandingkan dengan 9,56 juta bayi pada tahun 2022.
Populasi keseluruhan turun pada tahun 2023 menjadi 1,409 miliar, turun 2,08 juta orang dibandingkan tahun sebelumnya, kata biro tersebut.
- Singapura
Singapura menjadi negara di Asia Tenggara yang memiliki tingkat kelahiran terendah.
Dikutip dari CNBC (18/9/2023), angka kelahiran di Singapura mencapai rekor terendah pada tahun 2022, setelah bertahun-tahun mengalami penurunan.
Kelahiran hidup tahun lalu anjlok sebesar 7,9 persen, karena mahalnya biaya hidup di Singapura.
Selain itu, tingginya biaya hidup terus menjauhkan banyak orang dari menambah keluarga mereka dan berdampak pada resesi intim yang berkelanjutan.
Meski demikian, angkat kelahiran sedikit meningkat pada 2022 menjadi 1,12 dari 1,1 pada tahun sebelumnya ketika orang-orang tinggal di rumah selama Covid-19.
Namun, tren kesuburan menunjukkan perempuan juga memilih untuk memiliki anak di kemudian hari, atau tidak sama sekali.
Data dari Departemen Statistik Singapura menunjukkan, wanita berusia antara 25-29tahun kini memiliki lebih jarang melahirkan dibandingkan wanita berusia antara 35-39 tahun.
“Memiliki anak terikat pada banyak hal, keterjangkauan rumah, pasangan, dan kematangan pasar kerja yang membuat seseorang merasa cukup aman untuk melakukannya,” Jaya Dass, direktur pelaksana Ranstad untuk Asia-Pasifik.
“Daya tarik ingin memiliki anak sebenarnya berkurang secara signifikan karena kehidupan telah semakin matang dan berubah,” kata Dass.
Tak hanya di Asia, beberapa negara di Eropa juga mengalami ancaman krisis populasi gelombang resesi intim di antaranya Perancis, Spanyol, Belanda, Jerman, dan Inggris. Sumber
Disarikan Oleh: IN