Badan legislasi (Baleg) DPR RI menjelaskan alasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) berganti nama menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Wakil Ketua Baleg DPR, Willy Aditya, mengungkapkan, pergantian nama dari RUU PKS menjadi RUU TPKS dilakukan setelah adanya diskusi yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Termasuk di antaranya para pakar, Komnas Perempuan hingga MUI.
“Maka kemudian biar lebih membumi akhirnya kita pilih RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” kata Willy dalam keterangan tertulisnya, Kamis (9/9/2021).
Willy menilai RUU TPKS–sebelumnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual–akan menjadi undang-undang yang berpihak kepada korban karena sejauh ini UU yang sudah ada mengatur kekerasan seksual secara terbatas. Willy mengatakan, pergantian nama RUU agar penegakan hukum kasus kekerasan seksual menjadi lebih mudah.
“Ini yang menjadi catatan kita biar kemudian aparat penegak hukum bisa lebih mudah dalam menjalankan tugas-tugasnya, khususnya kepolisian dan kejaksaan,” kata Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS itu.
“Kan selama ini law enforcement-nya aparat penegak hukum tidak memiliki legal standing dalam memproses setiap kasus kekerasan seksual,” imbuh Willy.
Draf awal RUU TPKS kini berisi 11 bab yang terdiri atas 40 pasal, di mana Bab I berisi Ketentuan Umum dan soal Tindak Pidana Kekerasan Seksual diatur pada Bab II.
Ada 4 bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam naskah terbaru RUU TPKS, yaitu pelecehan seksual (fisik dan nonfisik), pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, dan eksploitasi seksual.
Willy mengatakan tidak ada pengurangan substansi dari perubahan nama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi RUU TPKS. Baleg, kata Willy, hanya melakukan sinkronisasi dan harmonisasi agar tidak tumpang tindih dengan UU sejenis seperti UU KUHP, UU KDRT, UU Perlindungan Anak, UU Perdagangan Orang, UU Pornografi, hingga UU ITE.
“Hasil dari sinkronisasi, kemudian kita sisir. Kita fokus biar tidak overlapping dengan UU satu dengan yang lainnya supaya lebih fokus ke korban. Prinsipnya apa yang sudah termaktub di dalam UU KUHP dan lain-lainnya itu kita tidak bahas di RUU TPKS,” jelas Willy.
Meski begitu, Baleg memahami apabila ada dinamika pro dan kontra terhadap pergantian nama RUU PKS menjadi RUU TPKS. Willy menyatakan, Baleg maupun Panja RUU TPKS terbuka untuk berdialog dengan seluruh elemen masyarakat, termasuk kelompok yang kontra.
“Baleg terbuka untuk masukan dari siapa saja, karena ini kan baru paparan awal. Kami terbuka dialog untuk kemaslahatan kita bersama. Jangan saling caci maki, jangan saling tuding tidak pancasilais dan sebagainya,” tuturnya.
Willy menyebut Panja RUU TPKS siap melakukan kajian terhadap pandangan yang berbeda atau bahkan bertolak belakang, agar ada titik temu. Dia berharap ada kesepakatan bahwa UU ini bukan hanya untuk melindungi korban semata, namun juga memperhatikan perkembangan korban di masa depan.
“Fenomena kekerasan seksual sudah sangat meresahkan. Beberapa perubahan redaksi dan materi sebagai bagian dari dialektika yang terjadi agar pembahasan RUU ini terus mengalami kemajuan (progres), dengan begitu lahirnya payung hukum bagi ratusan ribu korban kekerasan seksual kian dekat untuk diwujudkan,” kata Willy.
Saat ini, tahapan pembahasan RUU TPKS sedang menunggu penyelesaian pemberian catatan dari fraksi-fraksi di DPR untuk kemudian akan dibahas dalam Panja. Baleg menegaskan siap memprioritaskan penyelesaian RUU TPKS.
“Pasti prioritas. Target selesai kalau bisa masa sidang ini. Kalau tidak, sebelum hari ibu-lah kita selesai,” ujar Willy.