JAKARTA,- Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Lily Pujiati menyebut keputusan tarif baru ojek online (ojol) hingga saat ini belum juga berdampak pada peningkatan pendapatan pengemudi ojol. Pasalnya, Keputusan Menteri Perhubungan No. 667/2022 yang berlaku sejak 11 September 2022 masih dilanggar oleh aplikator hingga hari ini.
“Potongan aplikator masih di atas ketentuan 15 persen, yaitu 20 persen hingga hampir 40 persen,” ujar Lily melalui keterangan tertulisnya, Senin, 24 Oktober 2022. Hal ini yang membuat pendapatan pengemudi ojol tak kunjung membaik meski ada kenaikan tarif ojol sejak 11 September 2022 lalu.
Lily pun menganggap aplikator memperoleh keuntungan secara ilegal. Pasalnya, aplikator atau perusahaan angkutan online tidak tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia. Bahkan, kata dia, aplikator telah melanggar konstitusi, UUD 1945, yang mengamanatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
“Anehnya Menteri Perhubungan seolah tutup mata atas pelanggaran yang dilakukan aplikator ini. Tidak ada pengawasan dari pemerintah, apalagi sanksi yang seharusnya dijatuhkan kepada aplikator atas pembangkangan hukum ini,” ujar Lily. Apalagi, Lily mengatakan bahwa Keputusan Menteri Perhubungan tersebut hanya mengatur tariff dan potongan aplikator bagi layanan antar penumpang. Regulasi tersebut tidak berlaku untuk layanan antar barang dan makanan.
Kedua layanan tersebut diserahkan kepada harga pasar dan ditentukan sepihak oleh aplikator. Adapun penentuan tarifnya diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 1/2012.“Dampaknya sangat nyata terjadi dalam tarif pengiriman barang yang merugikan pengemudi ojol. Dalam pengantaran barang aplikator menetapkan tarif Rp 11.100 untuk mengantar satu barang,” kata Lily.
Akan tetapi, Lily menyebut aplikator hanya membayar Rp 44.000 kepada pengemudi ojol yang mengantar sebanyak 20 barang. Artinya, dalam mengantar satu barang, pengemudi hanya mendapat upah Rp 2.200.
“Seharusnya pengemudi ojol memperoleh pendapatan Rp 222.000. Sehingga pengemudi ojol pendapatannya hilang sebesar Rp 178.000, sebaliknya aplikator memperoleh profit ilegal sebesar nilai tersebut,” ujar Lily.
Lily juga mengatakan bahwa kondisi ini semakin diperparah dengan status pengemudi ojol hanya hanya dianggap sebagai mitra, bukan sebagai pekerja. Oleh karena itu, ia berharap Presiden mau memerintahkan para menterinya agar memberikan sanksi kepada aplikator dan menetapkan pengemudi angkutan online, ojol dan taksi online sebagai pekerja tetap sesuai UU Ketenagakerjaan.
“Karena selama ini aplikator tidak memenuhi hak-hak pekerja seperti hak upah dan kerja yang layak, hak perempuan untuk cuti haid, melahirkan serta hak berserikat untuk mengaspirasikan suara pekerja angkutan online,” kata Lily menjelaskan lebih jauh tetang kondisi para pengemudi ojek online saat ini.
Disarikan Oleh : RS