Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkap adanya kerugian negara sekitar Rp 1,6 triliun dari sektor pendidikan. Kerugian itu terhitung dari 240 kasus korupsi pendidikan sejak awal tahun 2016 hingga tahun 2021 sekarang.
“Terdapat 240 korupsi pendidikan yang ditindak APH sepanjang Januari 2016 hingga September 2021. Kasus tersebut terjadi dalam rentang waktu 2007 hingga 2021 dan menimbulkan kerugian negara Rp 1,6 triliun,” kata Peneliti ICW Dewi Anggraeni dikutip dari situs resminya, Senin (22/11/2021).
Dewi mengatakan kerugian negara diyakini jauh lebih besar sebab terdapat kasus yang hingga kajian ini disusun belum diketahui besaran kerugian negaranya. Selain itu, dia juga mengatakan dari observasi pengadaan barang dan jasa di sektor pendidikan, ICW menemukan terdapat pengadaan yang tak sesuai kebutuhan dan tak dapat dimanfaatkan, baik karena mangkrak maupun tidak lengkap.
“Dilihat dari tahun terjadinya korupsi, korupsi sektor pendidikan diketahui terus terjadi di tengah pandemi COVID-19. 4 dari 12 kasus korupsi pendidikan yang terjadi pada 2020-2021 terkait dengan penanganan COVID-19,” ujar Dewi.
Kasus tersebut yakni korupsi dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) dari Kementerian Agama (Kemenag) RI di Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Takalar, Kabupaten Wajo, dan Kota Pasuruan dengan modus pemotongan bantuan. Dari penelusuran ICW dan jaringan di Aceh dan Medan, ditemukan bahwa potensi korupsi pada objek yang sama juga banyak terjadi dengan beragam modus.
“Mulai dari disalurkan pada lembaga penerima yang tak memenuhi persyaratan, penerima fiktif, hingga BOP digunakan tidak sesuai peruntukan,” katanya.
Dewi memaparkan bahwa 240 korupsi pendidikan terbanyak berkaitan dengan penggunaan dana BOS, yaitu terdapat 52 kasus atau 21,7% dari total kasus. Dia juga menyebut korupsi dana BOS bahkan masih tetap terjadi meski skema penyaluran dana telah diubah sejak 2020, dari yang sebelumnya ditransfer oleh Kementerian Keuangan ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) menjadi ditransfer langsung ke rekening sekolah.
“Sejauh ini, terdapat 2 korupsi dana BOS tahun anggaran 2020 yang telah ditindak oleh kejaksaan, yaitu di Kota Bitung, Sulawesi Sulawesi Utara, dan Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur dengan modus pemotongan oleh oknum Dinas Pendidikan dan kegiatan fiktif di sekolah,” katanya
Lanjut Dewi, dia juga menyebutkan korupsi terbanyak juga terjadi pada korupsi pembangunan infrastruktur dan pengadaan barang dan jasa non infrastruktur, seperti pengadaan buku, arsip sekolah, meubelair, perangkat TIK untuk e-learning, pengadaan tanah untuk pembangunan fasilitas pendidikan, dan lainnya. Pengadaan yang dikorupsi ini berasal dari beragam program dan sumber anggaran, seperti Dana Alokasi Umum (DAU), dana otonomi khusus, anggaran Kemendikbud, anggaran Kemenag, dan APBD.
“Sebagian diduga bersumber dari DAK, sebab terdapat kasus-kasus yang tidak disebutkan dengan jelas sumber anggarannya. Sedangkan kasus yang dapat diidentifikasi bersumber dari DAK berjumlah 34 kasus,” katanya.
Tercatat, kasus korupsi pendidikan yang ditindak APH pada 2016 hingga September 2021 melibatkan 621 tersangka. Dilihat dari latar belakangnya, tersangka didominasi oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) dari Dinas Pendidikan dan instansi lain (di luar ASN di sekolah), yaitu sebanyak 288 atau 46,3%.
“Secara lebih rinci, ASN yang dimaksud merupakan ASN Staf di Dinas Pendidikan (160 tersangka); ASN instansi lain seperti kementerian, Dinas Sosial, Dinas Syariat Islam, Dinas Komunikasi dan Informasi, dll (84 tersangka); dan Kepala Dinas Pendidikan (44 tersangka),” jelasnya.
Tersangka terbanyak kedua yakni dari pihak sekolah, yaitu 157 tersangka atau 25,3% dari total tersangka. Kepala dan wakil kepala sekolah adalah pihak sekolah yang paling banyak ditetapkan sebagai tersangka (91 orang) dan disusul pihak lain seperti guru, kepala tata usaha, dan penanggung jawab teknis kegiatan (36 orang), serta staf keuangan atau bendahara sekolah (31 orang).
“Data ini menunjukkan fakta bahwa korupsi pendidikan juga marak terjadi di sekolah, tempat peserta didik menuntut ilmu yang seharusnya mengajarkan sekaligus mencontohkan nilai-nilai kejujuran, integritas, dan keadilan,” ujarnya.
Penyedia pengadaan menempati posisi ketiga terbanyak yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi pendidikan. Penyedia yang dimaksud mencakup penyedia atau rekanan terpilih untuk membangun bagunan fisik dan non fisik maupun penyedia sub kontrak. Terdapat 125 tersangka atau 20% yang berasal dari penyedia. Terdapat pula kepala dan wakil kepala daerah yang menjadi tersangka sebanyak 7 orang.
“Mereka adalah Bupati Jembrana I Gede Winasa, Bupati Sabu Raijua Marthen Dira Tome, Bupati Banyuasin Yan Anton Ferdian, dan Pejabat Bupati Lampung Timur Tauhidi yang ditetapkan sebagai tersangka pada 2016 serta Bupati Hulu Sungai Tengah Harun Nurasid yang ditetapkan sebagai tersangka pada 2017,” ujarnya.
Selaras dengan data yang menunjukkan korupsi pendidikan banyak dilakukan oleh ASN Dinas Pendidikan dan pihak sekolah, posisi teratas tempat terjadinya korupsi juga ditempati oleh Dinas Pendidikan di peringkat pertama dan sekolah di peringkat kedua. Terdapat 124 kasus (51,6%) kasus korupsi pendidikan yang terjadi di level Dinas Pendidikan dengan kerugian negara mencapai Rp 225,2 miliar. Korupsi di Dinas Pendidikan umumnya berupa mark up anggaran (20%), penggelapan anggaran (15%), dan pungutan liar (pungli) atau pemerasan (12,6%).
Sedangkan korupsi di sekolah kerap terjadi berkaitan dengan penggunaan dan laporan pertanggungjawaban dana BOS (49% atau 37 dari 75 kasus). Kasus korupsi di sekolah terbanyak kedua merupakan pungli. Mulai dari pungli penerimaan siswa baru, dana UN, operasional Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS), sertifikasi guru, penebusan Standar Kompetensi Kelulusan (SKL), hingga keperluan kelas.
“Meski dari sisi jumlah kasus tak sebanyak korupsi di Dinas Pendidikan dan sekolah, korupsi di perguruan tinggi cukup banyak ditindak APH dan menempati posisi ketiga. Namun meski demikian, korupsi di perguruan tinggi jika dilihat dari nominal kerugian negaranya jauh lebih besar dibanding korupsi di Dinas Pendidikan. 20 kasus korupsi perguruan tinggi yang ditindak oleh APH telah merugikan negara Rp 789,8 miliar,” katanya.
Lebih lanjut, Dewi menyayangkan 2 kasus yang dilakukan oleh oknum di kejaksaan negeri yakni kasus korupsi proyek pembangunan SDN 2 Bangunrejo, Yogyakarta, dan kasus pemerasan dalam proses pencairan dana BOS TA 2019 di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.
Dia juga menyebut kasus korupsi sektor pendidikan patut dilihat sebagai persoalan yang mengkhawatirkan. Perilaku koruptif dan pemborosan anggaran katanya, yang sebenarnya terjadi juga diyakini jauh lebih masif dibanding jumlah kasus yang telah ditindak APH.
“Semakin banyak kasus, semakin besar kerugian negara, dan semakin suram pula layanan pendidikan serta pengembangan sumber daya manusia. Terlebih pendidikan merupakan layanan dasar yang berkontribusi besar dalam membentuk karakter dan sikap seseorang,” katanya.
Disarikan oleh P.