Jepang mendesak China untuk mengambil langkah konkret mengatasi kekhawatiran publik internasional terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami etnis minoritas Muslim Uighur di Xinjiang.
Hal itu dsampaikan juru bicara Kementerian Luar Negeri Jepang, Katsunobu Kato, dalam jumpa pers di Tokyo pada Selasa (6/3).
Kato menuturkan Menlu Jepang, Toshimitsu Motegi, telah menyampaikan kekhawatiran dan desakannya terkait Uighur kepada Menlu China Wang Yi saat bertelepon pada Senin (5/3) malam.
“Saya mendengar bahwa Menlu Motegi telah mengungkapkan keprihatinan mendalam terkait isu pelanggaran HAM di wilayah Xinjiang dan meminta China untuk mengambil langkah konkret menangani masalah itu,” kata Kato seperti dikutip Reuters. China telah lama menjadi perhatian internasional terkait dugaan pelanggaran HAM yang dialami etnis Uighur di Xinjiang.
Pemerintahan Presiden Xi Jinping dilaporkan menahan lebih dari satu juta etnis Uighur di sebuah penampungan layaknya kamp konsentrasi.
Hal itu dibantah keras China dan menegaskan bahwa kamp-kamp penampungan itu merupakan kamp pelatihan pendidikan vokasi yang ditujukan untuk memberdayakan etnis Uighur supaya terhindar dari ekstremisme dan radikalisme.
Namun, dugaan kekerasan hingga eksploitasi terus bermunculan terutama dari para keturunan Uighur yang telah mengasingkan diri di luar negeri.
Sepekan lalu, negara barat seperti Amerika Serikat, Inggris, hingga Uni Eropa juga telah menjatuhkan sanksi baru kepada China terkait isu Uighur.
Menurut laporan AS dan sekutunya, China menahan satu juta etnis Uighur dan memaksa mereka untuk meninggalkan keyakinan dan budaya, dan menyatakan sumpah setia kepada Partai Komunis China dan Presiden Xi Jinping.
Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, mengatakan bahwa China “terus melakukan genosida dan kejahatan kemanusiaan di Xinjiang.”
Sementara itu, Selandia Baru dan Australia juga mendukung upaya penjatuhan sanksi negara-negara Barat tersebut. Namun, mereka tak menjatuhkan sanksi sendiri terhadap China.