Faktual.id
Komunikasi Politik POLITIK

Pancasila, Inspirasi di Bawah Pohon Sukun

Ngobrol Pancasila tanpa Bung Karno itu menempatkan Pancasila di ruang hampa.

Desir ombak menjadi teman dalam kesepian Bung Karno di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Selepas subuh si Bung kerap menyendiri di tepi pantai, di bawah pohon sukun, menatap luasnya lautan. Tak ada yang berani mendekat sebab opas dan mata-mata Belanda menjadi bayang-bayang Bung Karno. Siapa yang ngobrol pasti diinterogasi. “Maaf Tuan Sukarno. Kami telah menginstruksikan kepadanya agar tetap berada dalam jarak 60 meter (dari Bung Karno),” jawab kepala polisi atas protes Bung Besar. Yah, bagaimana mungkin orator yang selalu bersama massa ini terpencil?

Bung Karno tiba di Ende, 14 Januari 1934, menjalani pembuangan pertamanya. “Kenapa harus di sini (Ende)?” murung Ibu Inggit bertanya. “Sebab disini sepi. Kalau di Digul ada 2.600 buangan. Dapatkah kamu bayangkan apa yang akan diperbuat Sukarno dengan 2.600 pasukan yang sudah jadi itu? Aku akan mengubah wajah Negeri Belanda dari Tanah Papua yang terpencil itu?” jawab Bung Karno. Turut bersamanya selain Ibu Inggit Ganarsih istrinya, ikut juga Ibu Amsi (ibunda Ibu Inggit) dan Ratna Djuami (anak angkat). Bung Karno harus merapikan sendiri rumah pembuangan, yang dikelilingi kebun pisang, pohon kelapa dan Jagung itu supaya layak huni. Kesendirian itu Bung kian melekatkan diri pada sang khalik. Berdzikir dan sembahyang. Sesuatu yang tidak pernah ditinggalkan sejak dari Surabaya di kediaman HOS Tjokroaminoto, guru para pendiri bangsa. Surat menyurat dengan A. Hasan guru agamanya di Bandung memperdalam kajian Islam pun tetap terawat.

Bung Karno pun tidak mau melarikan diri walaupun tawaran bantuan datang dari Martin Paradja, kelasi kapal Zeven Provincien, satu dari banyak pribumi yang ikut berontak di kapal itu pada 1933. “Itu bukan cara Bung Karno”, jawab Bung Karno. Disini pula Bung Karno bertemu Riwu Ga, penjual kue keliling yang kemudian bekerja di rumah pembuangan. Riwu Ga ini yang atas permintaan Bung Karno keliling Jakarta sesaat setelah Proklamasi dibacakan, mengumumkan kemerdekaan Indonesia. “Angalai (sahabat), sekarang giliran angalai. Sebarkan kepada rakyat Jakarta kita sudah merdeka. Bawa bendera”, lembut Sukarno meminta. Riwu Ga, putera Pulau Sabu yang merantau ke Ende, tak gentar keliling Jakarta walaupun di jalan-jalan protokol banyak tentara kempetai Jepang dan Belanda. “Kita sudah merdeka”, pekik Riwu berulang-ulang dengan merah putih berkibar dari atas jeep sebagaimana ditulis Peter A. Rohi, dalam buku “Kako Lami Angalai”. Riwu Ga terompet proklamasi.

Cara Belanda itu berhasil membungkam Bung Karno? Anda salah meneer. Dalam kesepiannya Bung berhasil membentuk lingkungannya sendiri bahkan mendirikan kelompok drama (tonil) Kelimutu yang anggotanya nyaris 100 orang dari warga sekitar. Klub Tonil ini pun mentas di gedung Immacaluta di asrama Keparokian Ende difasilitasi sahabat baru Bung Karno, Peter H. Gerardus Huitjink, pastor Paroki. Dalam kesunyian Ende itu juga Bung Karno justru menemukan mutiara. Di bawah pohon sukun itu, Bung Karno merenungi revolusi Indonesia yang tidak berhenti. Seperti gulungan ombak di hadapannya, yang besar berirama memukul pantai. Ada saat pasang untuk selanjutnya surut, terus berlangsung dalam keabadian. “Itu sama dengan revolusi Indonesia”, demikian Bung Karno. Dan ini semua, Bung Karno meyakini, kreasi sang khalik, Tuhan yang maha baik. Revolusi yang berlangsung sejak masuknya imperialisme Belanda dengan menjadikan Indonesia sebagai bekal hidup masyarakat Belanda, penyedia bahan baku pabrik di Belanda, menjadikan Indonesia target pasar macam-macam industri asing, dan Indonesia menjadi lapangan usaha bagi beragam modal asing.

Tanah yang dikuasai bangsa asing pun semakin banyak sejak 1870 sebanyak 35 ribu bahu (1 bahu / bouw sama dengan 7 ribu m2) dan pada 1928 mencapai 4,5 juta bahu. Tanah ini ditanami karet, kopi, teh, tembakau, dan tebu dan hasilnya di ekspor untuk kepentingan Belanda. Dan masyarakat pribumi (istilah yang tepat ketika itu bukan dalam perdebatan hari ini) menjadi buruh. “buruh diantara bangsa-bangsa” dengan upah 0,45 gulden bagi laki-laki dan 0,35 gulden bagi perempuan sementara harga beras 0,7 gulden. Ini bukan ertragslohn (upah terendah) tapi erhaltungslohn (upah ala kadarnya supaya tidak mati). Setiap tahun pada 1933, 1,5 miliar kekayaan Indonesia yang dibawa keluar Indonesia. Indonesia tidak menjadi tuan atas dirinya sendiri. Bung Karno menggugat. Dan “Indonesia Menggugat” menjadi nota pembelaan Sukarno saat sidang penangkapan pertamanya saat ditahan di Lapas Bancuy, Bandung.

Sejak mondok di kediaman Pak Tjokro dan berjumpa banyak tokoh pergerakan serta buku-buku, dadanya membara. Di bawah pohon sukun itu perjalanan sebuah bangsa yang akan bernama Indonesia melintas. Bung Karno gusar. Hanya persatuan yang bisa menyelamatkan dibawah ridho sang khalik. Tak boleh ada lagi penyerahan diri pada selembar kertas korte verklaring, pengakuan kedaulatan Belanda 1898 yang kemudian diperluas oleh J.B Van Heutzs yang ketika jabatannya berakhir 1909 “mem-Belanda-kan” lebih dari setengah Indonesia hari ini hampir ke Papua.
Bung Karno merenung di bawah rindang pohon sukun ditemani deru ombak. Tidak boleh ada sekat golongan, agama, suku, dan latar belakang untuk merdeka. Tidak ada istilah mayoritas – minoritas. Sebagaimana hak yang sama, semua punya tanggung jawab yang sama. Semua harus menyatu dan harus ada yang menyatukan untuk bergotong royong. Dan lebih dari itu harus mendapat restu yang maha kuasa. Surat wasit Bung Hatta untuk Guntur Sukarno Putra, 16 Juni 1978 menuliskan, ketika rapat BPUPKI Mei 1945, dr. Rajiman yang ketua PPKI membuka sidang dengan pertanyaan, “Negara merdeka yang kita bangun ini apa dasarnya?” Dalam surat wasiat itu Bung Hatta menuliskan, hanya Bung Karno yang berani menjawab dalam pidatonya 1 Juni 1945: Pancasila. Pidato satu jam yang menarik dan mengundang tepuk tangan yang riuh. Rumusan ini dibahas khusus oleh “tim 9” yang menghasilkan urutan yang agak berbeda tanpa kehilangan substansi. Bung Karno menempatkan Ke-Tuhanan yang maha esa di sila ke lima. Bagi bung Karno sila kelima sebagai sila terakhir menjadi kunci dari semua, bukan ekor. Artinya tanpa restu Tuhan yang Maha Esa bangsa Indonesia tidak akan jadi apa-apa. Pancasila hasil “modifikasi” sebagaimana urutan sila hari ini itu kemudian direstui menjadi dasar negara setelah menyatu dengan UUD 1945.

Pancasila adalah benang merah perjalanan Indonesia. Bicara Pancasila berarti bicara Indonesia masa lalu, hari ini, dan masa depan Indonesia. Dan Bung Karno berhasil merumuskannya dalam lima sila. Sebab itu bicara Pancasila tanpa Bung Karno adalah omong kosong. Pancasila ada di ruang hampa seperti ketika Suharto menjadikan Pancasila sebagai asas tetapi melakukan de-sukarnoisasi. Apapun cara Suharto melakukan pembumian lewat kursus atau apapun namanya sesungguhnya hanya lucu-lucuan.

Dan di bawah pohon sukun Bung Karno menemukan Pancasila. Maka, jadilah penggemar sukun dan tetap bergotong royong tanpa sekat. Semoga kita segera pulih dari situasi hari ini. Sehat lahir dan batin.

Alui Zisochi

Related posts

MK Kabulkan Penarikan Gugatan Usia Batas Minimum Capres-Cawapres

Tim Kontributor

Sosok Mertua SBY Sang ‘Jenderal Pembantai’ PKI Namun Karier Militer Dibunuh Perlahan Oleh Soeharto

Tim Kontributor

Mimpi SBY Naik Kereta Bareng Mega Dan Jokowi, Apakah Akan Ada Rekonsiliasi Politik?

Tim Kontributor

Leave a Comment