Faktual.id
RAGAM INFO Traveling

PAKET PERJALANAN WISATA, OPEN TRIP OPEN TRIPAN YANG IDEAL

Open Trip adalah perjalanan yang dilakukan oleh orang yang membooking ticket destinasi sendiri tetapi ticket dan akomodasinya sudah ada. Jadi tidak tergantung group. Misal saya ke Prancis, saya sudah beli ticket sendiri, pesen hotel sendiri selama di Prancis, tetapi disana saya ikut beberapa paket wisata kecil kecil per perjalanan yang jadwalnya saya sendiri yang tentukan. Jadi yang penting saya sudah sampai Prancis, disana saya bebas mau milih kemana dan kapan, suka suka saya.

Nah penyelenggara Open Trip ini ada yang dilakukan oleh perusahaan jasa perjalanan atau biro travel, komunitas, atau juga perorangan. Biasanya paket-paket Open Trip ini biayanya lebih murah daripada paket tour yang diadakan secara resmi oleh biro travel. Karena hanya menyediakan paket-paket di destinasi saja. Tidak mengurus tetek bengek transportasi dari dan ke tempat asal traveler dan destinasi, juga akomodasi tidak disiapkan. Contohnya adalah Open Trip ke Museum Louvre yang hanya beberapa jam saja. Atau paket petik anggur dan membuat wine. Paket Open Trip ini, tiap hari tersedia, tinggal kapan kita mau datang dan beli paketnya.

Kalau paket tour biasanya lengkap, traveler bayar dan semua kebutuhan dari transportasi dari daerah asal sampai destinasi wisata, akomodasi, konsumsi, ticket masuk dan semua kebutuhan sudah disiapkan oleh biro travelnya. Bahkan waktu pelaksanaannya pun sudah ditentukan oleh Biro Perjalanan Wisata. Ini yang membedakan antara Open Trip dan Paket Wisata.
Kalau ditarik mundur, sebenarnya Open Trip ini mulai muncul kira-kira sebelum 2010, tetapi mulai marak sejak 2010 sejak perkembangan era digital dan terutama jejaring sosial mulai menguasai manusia di bumi. Peminatnya terutama anak-anak milenial pengguna gadget.

Yang jadi masalah kemudian adalah banyak yang bukan kalangan profesional kemudian mencari uang dengan membuat jasa perjalanan wisata dengan judul Open Trip. Bukan profesional ini mereka hanya niat jalan-jalan gratis saja misalnya, mau ke destinasi A atau mau ke gunung B atau mau ke pantai C, kemudian bikin flyer, pasang iklan Open Trip, minimal peserta 10, include A, B, C, D, E, F, dll. Peserta 10 orang, ada untung, kalau 6 impas, jadi dapat jalan-jalan gratis, dapat untung cuan pula. Dengan pola ini, sebenarnya ini bukan kategori Open Trip, tapi sudah membuat sebuah paket wisata yang seharunya dilakukan oleh perusahaan jasa perjalanan wisata. Mereka ini tidak punya legalitas, tidak profesional, SOP tidak jelas, dan saya kira juga tidak memikirkan resiko. Belum tentu mereka punya guide yang punya lisensi, belum tentu punya Tour Leader yang berlisensi, belum tentu juga mereka membayar asuransi perjalanan.

Untuk legalitas menyelenggarakan jasa perjalanan wisata, idealnya adalah sebuah perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas, juga tergabung di ASITA atau Association of The Indonesian Tours And Travel Agencies atau Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia. Ini baru satu asosiasi yang mewadahi organisasi atau perusahaan penyelenggara perjalanan wisata . Ketika tour berjalan tentunya akan ada Tour Leadernya. Di Indonesia, ada juga Indonesia Tour Leader Asscociation (ITLA) yang mewadahi profesi Tour Leader, juga melakukan pelatihan dan sertifikasi buat para Tour Leader ini. Pemandu wisata juga akan beda lagi lisensinya, apalagi pemandu perjalanan di gunung, perlu pelatihan dan lisensi khusus, beda dengan lisensi pemandu wisata biasa. Salah satu yang menyelenggarakan pelatihan pemandu perjalanan gunung adalah Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia atau APGI. APGI ini Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia ya, bukan Asosiasi Pendaki Gunung Indonesia, ini yang sering disalahartikan. Sertifikat dari APGI ini nantinya diterbitkan oleh BNSP atau Badan Nasional Sertifikasi Profesi.

Tidak hanya perjalanan di gunung, bahkan obyek wisata agro saja juga membentuk asosiasi, yaitu Asosiasi Wisata Agro Indonesia (AWAI). Saya pernah berada di AWAI ini sejak tahun 2000an. Asosiasi ini khusus mewadahi para pemilik dan pengelola obyek wisata agro di Indonesia. Obyek Wisata Agro tentu beda dengan Obyek Wisata Alam.

Nah untuk fenomena Open Trip di gunung, ini harus banyak yang dibenahi. Kalau Open Trip, harusnya ya yang menyelenggarakan teman-teman basecamp pengelola pendakian atau masyarakat sekitar. Tentu saja, mereka juga harus dilatih dulu, disertifikasi dan punya lisensi. Lisensinya bisa sebagai Guide atau Porter. Ini seperti di Thailand misalnya atau di Malaysia. Kita sudah sampai Bangkok atau Kuala Lumpur misalnya, langsung datang saja ke Kinabalu atau langsung datang ke Phuket atau ke Rayoong, atau ke Prachinburri, pilih ada Open Trip apa, hari ini, bayar, jalan. Yang menyediakan jasa Open Trip tentu saja penduduk lokal, yang sudah mengerti seluk-belum tripnya. Bukan woro-woro Open Trip, ditentukan kapan jalannya, berapa biayanya dengan fasilitas semua dari Transportasi, akomodasi, konsumsi, dll lengkap dari kota asal wisatawan. Ini bukan Open Trip, tapi ya paket tour lengkap, karena kita terikat dengan tanggal dan sistem paket mereka.
Kalau Open Trip yang bener, itu udah ada di Prau, beberapa di Sindoro dan Sumbing serta di Rinjani. Disana warga lokal sudah punya beberapa perlengkapan pendakian, sudah dilatih jadi guide dan porter, dan siap mengantar ke beberapa destinasi pegunungan. Kapanpun kita datang mereka siap untuk Open Tripnya, menyesuaikan kebutuhan kita. Di beberapa gunung ini, mereka resmi terdaftar dan diakui oleh pengelola gunung. Juga rutin ditingkatkan skilnya. Semuanya warga lokal bukan pengusaha atau pendaki gunung senior yang kemudian mencari uang dengan menyelenggarakan biro perjalanan wisata tetapi ngomongnya Open Trip, apalagi dengan biaya sangat tinggi dengan fasilitas mewah.

Open Trip yang beneran Open Trip, yang disediakan oleh warga lokal ini lebih bener. Selain memang meggerakkan perekonomian lokal, juga akan tidak ada tipu-tipu. Karena kalau Open Trip beneran sesuai deskripsi saya ya seperti yang saya lakukan di Prancis itu. Juga sama seperti yang saya lakukan di Rinjani. Pernah saya tiba di Lombok, kemudian pengen naik ke Rinjani, ya sudah saya langsung saya naik angkutan ke Sembalun, urus Simaksi dan tanya ke kantor siapa yang buka Open Trip, saya pengen ke Puncak Rinjani dan mancing ke Segara Anak 3 malam 4 hari. Ketemu orangnya, deal-dealan makan apa aja, bayar, belanja, berangkat. Selesai. Juga pas di Raja Ampat, saya datang sendiri ke Sorong, nyeberang ke Waigeo dan di pelabuhan lihat Open Trip Cenderawasih, ya udah saya datang, beli paket, bayar, berangkat pas saya sempat. Ini Open Trip. Atau pas ke Manado, langsung ke Bunaken, pilih pengelola diving, beli paket menyelam, hari ini datang, bayar, nyelam, ini Open Trip namanya. Atau coba ke Flores dan mampir ke Labuan Bajo, mampir ke Cafe, Hotel atau TICm disana akan banyak flyer Open Trip, suka-suka kita mau kemana dan pilih yang mana, Ke Loh Buaya misalnya One Day Trip lihat Komodo, atau sekedar snorkling di Pink Beach, atau mau menginap di Pinisi. Ini bisa kita beli kapanpun setelah kita sampai Labuan Bajo.

Pola ini yang sebenarnya layak disebut Open Trip dan lebih ideal. Pengelola Basecamp bisa mendidik warganya untuk mengelola Open Trip demikian. Dilatih, dan dibikinkan SOP, disertifikasi, dan dibuatkan paket. Kapanpun wisatawan datang mereka siap. Bukan bikin paket dari Jakarta ke sebuah gunung, lalu memboyong kru dari tour leader, guide, porter bahkan sampai tukang masak dari Jakarta ke gunung tanpa melibatkan potensi warga lokal. Lalu peran Open Trip Open Tripan ini, yang dapat uang dari membawa wisatawan ke gunung buat gunungnya sendiri apa? Apa yang sudah mereka berikan buat perbaikan ekosistem, buat warga setempat.

Tapi ya udah sih, Sultan mah bebas ya?

ahmad fauzi mahasiswa stisip widuri

Related posts

Putri Ariani Menjadi Sorotan Media, Usai Dapat Gold Buzzer Di America’s Got Talent.

Tim Kontributor

Komisioner KPU Maros Sulsel Dicopot dari Jabatan

Tim Kontributor

Mario Dandy didakwa melakukan penganiayaan berat terencana.

Tim Kontributor

Leave a Comment