Jalan Warung Buncit yang berlokasi di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan adalah salah satu titik kemacetan di Ibu Kota. Jalan Warung Buncit pernah diusulkan untuk diganti menjadi Jalan Jenderal Dr. A.H. Nasution. Namun, usulan pergantian nama jalan itu ditolak oleh sejumlah warga keturunan Betawi. Mereka menilai Jalan Warung Buncit menyimpan sejarah tersendiri bagi warga Betawi. Setidaknya ada tiga catatan sejarah mengenai asal usul nama Warung Buncit. Pertama, menurut sejarawan dan wartawan senior Alwi Shahab, Jalan Warung Buncit adalah tempat berbaurnya warga Betawi dan Tionghoa. Mereka hidup berdampingan dengan mengedepankan toleransi dan kerukunan. Informasi tersebut berdasarkan penuturan Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi, Haji Irwan Sjafi’i yang dituangkan oleh Alwi Shahab dalam bukunya berjudul Robinhood Betawi.
Banyak pedagang Tionghoa yang membuka warung untuk berjualan bahan pokok di tiap lorong di Jalan Warung Buncit hingga tahun 1960-an. Sedangkan nama Warung Buncit berasal dari julukan salah satu pemilik warung keturunan Tionghoa yang memiliki perut buncit. Warung milik warga Tionghoa berperut buncit itu terletak di antara Jalan Mampang Prapatan XIV dan XIII yang kini menjadi bangunan Yayasan Madrasah Sa’adutdarain. “Bahkan, kata Irwan, banyak nama warung yang kemudian terkenal sebagai nama tempat hingga saat ini. Seperti Jl Warung Buncit, karena Cina pemilik warung di sini perutnya gendut alias buncit. Nama Warung Pedok di Tebet, karena Cina pemilik warung kakinya dengdek (pedok),” tulis Alwi. “Sekalipun warung dan pemiliknya sudah lenyap, nama Warung Buncit sampai kini tetap melekat,” lanjut Alwi.
Catatan sejarah lainnya memiliki versi berbeda mengenai asal usul nama Warung Buncit. Dalam buku 212 Asal Usul Djakarta Tempo Doeloe karya Zaenuddin HM disebutkan bahwa nama Warung Buncit berasal dari nama salah satu pemilik warung keturunan Tionghoa bernama Bun Tjit. Sehingga, kata “buncit” bukan berasal dari julukan pemilik warung yang berbadan buncit, melainkan nama pemilik warung itu sendiri. Sementara itu, versi ketiga yang diceritakan oleh seorang budayawan dari Betawi Kita, Yahya Andi Saputra menyebut nama Warung Buncit berasal dari bahasa Betawi arkais (kuno).
Warung Buncit memiliki arti pos paling ujung atau paling belakang yang ditempati pasukan Kesultanan Mataram saat menyerbu Kastil Batavia pada tahun 1628-1629. “Yang menceritakan ada orang Tionghoa yang buka warung kelontong perutnya buncit, itu ilmu ‘Kirata’, ilmu dikira-kira supaya nyata. Cerita fiktif belaka,” tutur Yahya kepada Historia. “Warung itu kalau dalam bahasa Betawi arkais, artinya pos, tempat ngaso (istirahat) atau tempat atur strategi. Buncit itu menunjuk nama tempat yang paling belakang. Jadi Warung Buncit artinya pos paling belakang untuk konsentrasi pasukan dalam pengepungan Kastil Batavia,” lanjutnya. (Randy Wirayudha)