Faktual.id
RAGAM INFO Traveling

MENANAM TANAMAN BUAH DI GUNUNG

Seringkali di group-group komunitas pendaki gunung, pecinta alam dan sejenisnya, juga di group Wahtsapp dan Telegram muncul wacana dan ide untuk menanam tanaman buah di sepanjang jalur pendakian gunung dan hutan. Jadi harapannya kalau sudah berbuah, sambil naik gunung bisa memetik buah yang ranum di kanan dan kiri jalur pendakian. Bisa buat cadangan logistik dan membantu pendaki gunung yang kehabisan makanan. Misalnya saja ini beneran terealisasi dan menjadi kenyataan, wah, alangkah indahnya jalur pendakian. Capek, berhenti, duduk dibawah pohon apel, rebahan sambil menikmati apel yang ranum. Wah, sudah seperti di Taman Firdaus saja.

Ide ini tidak hanya dilontarkan akhir-akhir ini saja, tetapi sebenarnya sudah sejak tahun 1839. Dulu setelah Profesor Caspar Georg Carl Reindwardt untuk pertama kali medaki Gunung Gede pada 1819, kemudian disusul oleh Franz Wilhelm Junghuhn yang gantian menjelajahi Gede dan Pangrango pada kurun waktu 1839-1861. Juga Johannes Elias Teijsmann pun iri hati, dan ikut naik ke Gede. Teijsmann ini untung saja, karena naiknya belakangan jadi di Kandang Badak Junghuhn sudah membangun stasiun penelitian. Teijsmann ini namanya sekarang diabadikan menjadi nama taman dan nama jalan didalam area Bogor Botanical Garden.

Profesor Reindwardt adalah pendiri dan pemimpin pertama Bogor Botanical Garden. Selanjutnya Junghuhn dan Teijsmann pun juga menjadi pemimpin di Kebun Raya Bogor setelahnya. Waktu itu Junghuhn dan Teijsman ketika mendaki Gede dan Pangrango sempat membawa tanaman-tanaman pangan dari Eropa dan ditanam di sekitar Puncak Pangrango dan Kandang Badak. Teijsmann waktu itu memang bertugas memasok logistik yang salah satunya berupa susu dan sayur mayur serta buah-buahan buat rumah tangga istana Gubernur Jenderal VOC. Jadi Teijsman mempunyai ide untuk bercocok tanam di Pangrango.

Kandang Badak waktu itu dijadikan stasiun penelitian yang bekas bangunannya masih ada sampai sekarang. Tapi tanaman-tanaman pangan yang ditanam oleh dua orang Meneer Belanda ini tidak bisa hidup maksimal. Mereka hanya berpedoman pada suhu udara yang dingin, dipikirnya sama suhunya seperti suhu di Eropa sana. Waktu itu ilmu pengetahuan belum secanggih sekarang, jadi mereka tidak tau bahwa walaupun suhunya sama-sama dingin tetapi agroklimat di Indonesia berbeda dengan agroklimat di Eropa. Jadi pekerjaan mereka mubazir saja. Tanaman-tanaman ini hidup segan mati tak mau dan tidak ada yang sampai melewati fase pertumbuhan generatif. Tapi ada beberapa pohon tinggalan Teijsmann ini di dekat Kandang Badak dan puncak Pangrango.

Menanam tanaman di hutan, apalagi kawasan konservasi itu tidak boleh asal tanam dan tidak mudah. Harus dilakukan studi dulu, misal hutan yang akan kita tanami satwanya ada apa saja, tanaman asli setempat apa saja. Jadi yang kita tanam juga harus bisa menjadi daya dukung untuk satwa yang ada disana misalnya. Bisa jadi makanan primata, burung dan mamalia yang ada. Juga harus menyesuaikan dengan agroklimatnya. Lahan yang ditanami ketinggiannya berapa, maka harus dipilih juga tanaman yang memang adaptif di ketinggian tersebut. Mangga yang merupakan tanaman asi India dan lebih cocok ditanam di dataran rendah tentu akan tersiksa ketika dipaksa di dataran tinggi, akibatnya ngambeg, nggak mau berbuah.

Contoh kasus lagi, dulu pernah ada beberapa kelompok pecinta alam yang minta izin melakukan rebiosasi di Gunung Prau. Setelah selesai menamam, ternyata yang ditanam adalah akasia mangium, salah satu tanaman invasif dan menghabiskan banyak air. Ini tentu saja jika dibiarkan akan merusak ekosistem dan mematikan dan menghabiskan cadangan air tanah. Ini maksudnya bagus, tetapi caranya salah.

Untuk di kawasan konservasi lain lagi persoalannya. Tidak bisa kita asal gali lubang, tanam pohon, dan tutup lubang. Tidak bisa seenak lagunya Bang Haji Oma yang Gali Lubang Tutup Lubang itu kalau mau penghijauan di kawasan konservasi. Kawasan koservasi itu dilindungi oleh Undang Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya. Dalam Pasal 19 ayat 1 UU No. 5/1990 ini jelas disebutkan “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasa suaka alam. Dalam pasal lain lebih jelas lagi.
Misalnya untuk Taman Nasional, dalam pasal 33
ayat (1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional.
Ayat (2) Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.
Sedangkan dalam ayat (3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.

Jadi bisa saja maksud kita baik melakukan penghijauan, nanam tanaman buah di gunung dan hutan kawasan konservasi, tetapi berefek merusak ekosistem. Bisa-bisa kena pidana karena melanggar UU Konservasi, lalu masuk hotel prodeo. Jadi intinya, berbuat baik itu harus dilakukan dengan niat dan cara baik. Berbuat baik juga harus dilakukan dengan cerdas juga, jangan niatnya memperbaiki ekosistem tetapi malah merusak ekosistem. Jadi untuk sementara, lupakan dulu mendaki gunung layaknya di Taman Eden, buah-buahan nan ranum bergelantungan di sepanjang jalur pendakian. Biarkan alami, tapi di beberapa gunung yang pendek hutannya yang masih di ketinggian kurang dari 1000 mdpl kadang banyak buah-buahan yang nikmat untuk dinikmati, jangan kecewa.

Salam – Adam Yang Sedang Mencari Hawa

 

Related posts

Tolak RUU Kesehatan, Massa Datangi DPR.

Tim Kontributor

PBSI Menyesalkan Atas NHS Yang Memaksa Tim Bulu Tangkis Indonesia Mundur Dari Ajang All England 2021

Tim Kontributor

Jalur Puncak Bogor Macet Parah, Ini Penjelasan Polisi.

Tim Kontributor

Leave a Comment