Indonesia kembali kehilangan salah satu putra terbaiknya. Seniman tari Martinus Miroto meninggal dunia pada 31 Desember 2021 karena sakit. Penari kelahiran Yogyakarta 23 Februari 1959 ini adalah nama penting dalam jagat tari tradisi gaya Yogyakarta, juga dunia tari kontemporer saat ini. Berbagai karya tarinya menjadi monumen artistik yang kaya nilai dan makna yang penting untuk diapresiasi dan dikaji. Tidak hanya bagi dunia tari, tapi juga dunia seni terkini yang makin kaya ragam ekspresi yang dihasilkannya. Hal ini karena karya-karyanya reflektif dengan selalu berbasis pada semangat menggali dan mengaktualisasi nilai hidup tradisi yang digelutinya, juga sangat kontekstual karena mampu merespon fenomena dan kondisi faktual dunia terkini.
Kemampuan teknik dan artistik tersebut buah dari proses kreatif yang panjang. Miroto mulai menekuni dunia tari sejak umur 9 tahun dengan belajar di Kridha Beksa Wirama. Selain belajar tari klasik gaya Yogyakarta, ia juga belajar tari dari seniman kontemporer Bagong Kussudiardjo. Darah seni yang diwarisi dari orangtuanya, penggender Setio Martono dan Marwiyah, menuntunnya makin mendalami seni tari di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) tahun 1976-1980, kemudian Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tahun 1980-1981 dan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tahun 1981-1986.
Kemampuannya sebagai seniman tari semakin terasah dengan mendapat kesempatan belajar pada institusi edukasi tari terkemuka di dunia seperti Folkswang Dance Academy, Jerman (1987), Wuppertal Dance Theater, Jerman, American Dance Festival North Carolina, Amerika Serikat dan Department of Dance University, di California Los Angeles, Amerika Serikat. Studi mendalamnya mengenai tari mengantarkannya memperoleh gelar Master of Fine Arts di bidang seni tari dari University of California Los Angeles (UCLA) tahun 1995.
Karya Tari
D iantara beberapa karya tarinya, dua diantaranya adalah Kidung Kunthi dan Penumbra. Dengan pengolahan kekayaan tradisi Jawa yang pekat, Kidung Kunthi menggelisahkan persoalan abadi kemanusiaan mengenai hubungan lelaki dan perempuan. Melalui tokoh universal sang ibu Kunthi dari wiracarita Mahabharata – Bharatayudha, Miroto mempertanyakan ulang pemaknaan identitas gender yang terjadi dalam diri dan kebudayaannya (Jawa), juga kegelisahannya pada eksploitasi tubuh dan kesadaran tentang perempuan yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan, baik ekonomi, sosial, politik, budaya hingga agama. Kidung Kunthi menjadi nyanyian lirih kesedihan artistik seorang Miroto.
Karya tari Penumbra menjadi bukti kecintaan, kesetiaan, dan intensitas Miroto kepada ekspresi topeng. Benda artistik purba yang sudah lama menjadi bagian dari kebudayaan kita ini menjadi bagian integral ekspresi Miroto untuk menyampaikan beberapa hal penting yang terjadi dalam dunia keseharian dan kemanusiaan kita. Menggunakan topeng, baik dalam kuantitas maupun kualitasnya, Miroto menyuarakan tema-tema mengenai potensi budaya kisah Panji, keterbelahan sifat manusia, simbolisme sufistik hingga isu terorisme kontemporer melalui topeng-topengnya. Penumbra menjadi khas karena tampilannya dengan sosok bertopeng putih Panji dengan gelung kain di kepala serta posisi kuda-kuda penari putri jathilan sebelum mengalami trance: dari imaji artistik menjadi repertoar simbolik isu-isu kontemporer.
Sebagai seorang seniman, ia memang selalu gelisah dengan dirinya sendiri. Ia yang selalu mengatakan bahwa dirinya adalah penari yang selalu memegang tradisi, terus menggeluti, mempertanyakan dan mencoba memformulasi ulang dalam sebuah karya. Hal ini pula yang membuatnya terus berproses di studionya yang berada di pinggir kali Bedog, Bantul, Yogyakarta, sehingga menelorkan peristiwa seni bertaraf internasional bernama Bedog Arts Festival. Dengan semangat merespon kesadaran untuk kembali ke alam, festival di pinggir kali ini menjadi oase bagi dialog para seniman tradisi dan kontemporer yang hadir menampilkan karyanya.
Isu Mutakhir
Begitu juga terhadap isu-isu mutakhir dunia, Miroto terus menggeluti dan merespons secara kreatif. Terkait fenomena pandemi di mana para seniman kehilangan kesempatan dan ruang ekspresi riilnya dengan panggung yang ada di masyarakat, ia mencoba melihatnya dalam perspektif yang lebih “mengkini”. Seperti kita ketahui, pandemi ini telah mengubah moda ekspresi dari luring menjadi daring dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk tari. Penari tidak bisa hadir langsung di hadapan penontonnya untuk menggerakkan tubuhnya, tapi menghadirkannya dalam moda elektronik yang difasilitasi teknologi internet.
Hal ini direspons oleh Miroto dengan menghadirkannya dalam sebuah karya tari bertajuk Simulakra. karya tari ini ditampilkan dalam format baru sebagai Pertunjukan Realitas Teleholografis yang digelar secara interaktif, di mana pada penari dari berbagai kota, menari dalam sebuah repertoar koreografis. Pementasan Simulakra mengaplikasikan sistem telepresensi video call dan teknik holografis pepper’s ghost untuk menghadirkan penari yang berada di tempat berbeda dan berjauhan dalam wujud citra tiga dimensi dan berinteraksi dengan penari nyata dalam real time.
Ide pertunjukan ini berasal dari fenomena era digital, di mana hampir setiap orang berinteraksi dengan orang lain melalui dunia maya seperti Facebook dan Skype. Ada pengalaman ada dan tiada, nyata dan maya. Ruang dan waktu bukan kendala untuk kita herhubungan. Hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari. Globalisasi ditandai dengan kemampatan ruang. Pesan yang hendak disampaikan adalah kesadaran menghadapi kondisi mutakhir saat ini, yang berada di antara yang nyata dan yang maya. Kita menjadi bingung, mana yang nyata dan mana yang maya: itulah dunia kita saat ini. Karya ini pula yang mengantarkannya meraih gelar akademis doktoralnya di bidang seni.
Dengan kehalusan sikap dan ketajaman intuisinya, Miroto sebenarnya merupakan seorang seniman dan pemikir kebudayaan. Ia memahami bahwa tari dalam pemahaman konsep nilai adiluhung bagi masyarakatnya, juga harus mampu luwes, inovatif dan aplikatif bagi jamannya. Namun untuk hal ini, ia tidak pernah berpretensi untuk mendekonstruksi nilai yang sudah ada, namun lebih pada kerja kreatif mengevolusi makna dalam bentuk-bentuk karya tari yang lebih berdialog dengan zamannya.
Seni tari baginya merupakan media komunikasi yang di dalamnya terkandung spirit akan identitas yang merupakan perwujudan dari suatu filosofi, nilai dan bentukan sejarah, serta tradisi dan budaya tertentu. Tari seharusnya tidak meniadakan jejak sejarah tari itu sendiri, melainkan mengemasnya menjadi sebuah komposisi koreografi yang lebih plural (secara tubuh) yang mampu memberikan satu pemahaman akan proses kehidupan manusia di perubahan zaman.
Miroto mengajarkan kepada kita membuka sensor tubuh dan rasa pikiran lebar-lebar untuk mewacanai ségala bentuk dan toleransi interpretasi, motivasi dalam tujuan kreatif demi kemanusiaan tari itu sendiri. Efek harapannya berupa refleksi tentang persepsi dan penampilan, meditasi dan interference, kediaman (stillness) dan gerakan. Hal ini menjadi usaha mengawinkan tubuh, intelektualitas, dan jiwa dalam mencari jawaban atas pertanyaan universal –apa yang membuat kita semua manusiawi?– dengan cara mengembangkan beragam pendekatan untuk membentuk, memfungsikan, memberi isi, dan mengontekstualisasikan makna tari.
Dengannya, tari mampu berlaku sebagai wacana dan wahana urun suara dalam pusaran ide dunia kontemporer, sebagai sebuah “percakapan besar kebudayaan”, representasi beragam maksud dan pemikiran, yang luruh menampung semua pendekatan artistik. Sugeng ngaso, Mas Miroto, leren ing alam kelanggengan….
Disarikan oleh : ulexxx