Faktual.id
POLITIK Politik Dalam Negri RAGAM INFO

Kisah Simbolik Awal Mataram Sampai Babad Giyanti tentang Geger Pacinan

Kelahiran Praja Mangkunegaran tidak akan pernah bisa lepas dari sejarah Kesultanan Mataram atau Kerajaan Mataram. Sebab, silsilah keluarga dari kerajaan inilah yang merupakan cikal bakal lahirnya Kadipaten Mangkunegaran atau Praja Mangkunegara.

“Kebangkitan Kerajaan Mataram dimulai pada tahun 1576,” tutur K.R.M.H. Daradjadi Gondodiprojo, penulis buku Geger Pecinan, dalam acara Sarasehan Webinar Sejarah Mangkunagaran pada Minggu (28/2/2021).

Pendiri Kerajaan Mataram adalah Panembahan Senopati yang memiliki nama kecil Danang Sutowijoyo. Ada mitos Jawa kuno terkait bagaimana Danang Sutowijoyo bisa menjadi pendiri dan raja Mataram. Diceritakan dalam Babad Tanah Jawi ada dua sahabat bernama Ki Ageng Pamanahan dan Ki Ageng Giring.

Ada sebuah cerita yang berbumbu metafora. Sesudah membuka Desa Mataram, Ki Pamanahan pergi mengunjungi sahabatnya itu di desa Giring. Pada saat itu Ki Ageng Giring baru saja mendapatkan buah kelapa muda bertuah yang jika diminum airnya sampai habis, si peminum akan menurunkan raja-raja Jawa.

Ki Pamanahan tiba di rumah Ki Ageng Giring dalam keadaan haus. Ia langsung menuju dapur dan menemukan kelapa muda ajaib itu. Dalam sekali teguk, Ki Pamanahan menghabiskan airnya.

Ki Giring tiba di rumah sehabis mandi di sungai. Ia kaget dan kecewa karena tidak jadi meminum air kelapa bertuah tersebut. Namun, akhirnya Ki Ageng Giring pasrah dan ikhlas pada takdir bahwa Ki Ageng Pamanahan yang dipilih Tuhan untuk menurunkan raja-raja besar di Pulau Jawa.

Panembahan Senopati atau Danang Sutowijoyo memiliki cucu bernama Sultan Agung Hanyokrokusumo. Sultan Agung merupakan raja Mataram pertama yang melakukan hubungan diplomasi dengan kongsi dagang Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), pada tahun 1621.

Sultan Agung memiliki anak yang bergelar Amangkurat I, cucu bertitel Amangkurat II, dan cicit bergelar Amangkurat III. Di masa Amangkurat I, II, dan III inilah Kerajaan Mataram mengalami pergolakan politik yang kelak akan mengubah nasib kerajaan tersebut

Dalam perjalananannya, “Ada dua golongan yang mempunyai peran besar dalam hubungan pemerintahan Mataram. “Satu, VOC. Nomor dua adalah golongan imigran-imigran Tionghoa yang datang dari Tiongkok,” ujar Daradjadi.

Pada masa itu VOC mengenakan pajak kepala tehadap orang-orang Tionghoa yang menjadi pendatang di Jawa. Pajak kepala ini dikecualikan untuk mereka yang telah menikah dengan orang pribumi atau telah memeluk agama Islam. Perilaku kejam VOC pada orang-orang Tionghoa kelak melahirkan pemberontakan di berbagai kota di Pulau Jawa.

Kerajaan Mataram sendiri juga sempat mengalami beberapa kali pemberontakan, bahkan sempat memindahkan keratonnya dari Plered ke Kartasura. Pemindahan keraton sekaligus ibu kota Kerajaan Mataram ini dilakukan oleh Amangkurat II.

Keraton Kartasura didirikan oleh Amangkurat II pada tahun 1680-1742 karena adanya pemberontakan Trunajaya dari Madura, pada tahun 1677, yang menyerbu Keraton Mataram lama yang terletak di Plered. Saat itu Amangkurat II melarikan diri ke hutan Wanakerta dan kemudian mendirikan Keraton Kartasura.

Sebenarnya, dengan bantuan VOC, Amangkurat II kemudian berhasil mengalahkan musuh yang sempat menguasai Keraton Mataram di Plered. Namun, ia memilih untuk melanjutkan pemerintahannya di Kartasura, bukan di Plered.

“Menurut kepercayaan Jawa, jika suatu keraton sudah diinjak-injak oleh orang asing (intruder), maka keraton tersebut sudah kehilangan kesakralannya,” kata Daradjadi. Oleh karena itulah Amangkurat II memilih untuk menjadikan Kartasura sebagai lokasi baru bagi pusat pemerintahan Kerajaan Mataram yang ia pimpin.

Perang dan pemberontakan juga menghiasi keberjalanan kisah Keraton Kartasura. Yang paling terkenal adalah pemberontakan Raden Mas Garendi pada tahun 1742 yang dibantu orang-orang Tionghoa untuk menyerbu dan menghancurkan Keraton Kartasura. Saat itu, Pakubuwono II (cicit Amangkurat I dari jalur ayahnya yang bergelar Amangkurat IV dan kakeknya yang bergelar Pakubuwono I) yang bertakhta di Keraton Kartasura, melarikan diri ke Ponorogo.

Kejadian pemberontakan orang-orang Tionghoa di Kartasura tersebut dikenal sebagai peristiwa Geger Pecinan.  Geger pecinan ini berawal dari pemberontakan orang-orang Tionghoa terhadap VOC di Batavia. Kemudian mereka juga menggempur Kartasura, yang mereka anggap sebagai kerajaan boneka dari Belanda. Sejak Pasukan Tionghoa mengepung Kartasura pada awal 1741, para bangsawan mulai meninggalkan Keraton Kartasura. Kejadian Geger Pecinan ini terekam dalam Babad Giyanti berikut.

pra punggawa myang para prajurit

prawiranung andêling ranangga

lir kabuncang sudirane

karkate têlas murud

têka uwas giris amiris

mung nêdya ngungsi gêsang

nora lawan mungsuh

tan pae lan wadu jana

wus dilalah karsaning Kang Murbèng Bumi

rusaking Kartasura

Artinya: Para punggawa dan para prajurit perwira andalan dalam perang seperti terbuang keberanianya. Harga-dirinya hilang surut, malah penuh was dan rasa takut, hanya berpikir mengungsi untuk hidup. Tidak melawan musuh, tak beda dengan perempuan. Sudah menjadi kehendak Yang Menguasai Dunia, rusaklah keraton Kartasura.

Pada tahun 1743, Pakubuwono II kembali ke Kartasura karena pemberontak sudah berhasil dikalahkan berkat bantuan VOC. Namun kondisi keraton yang porak poranda dan rusak membuat dirinya memilih untuk memindahkan keraton Kartasura ke Sala atau Solo yang saat ini dikenal sebagai Surakarta. Pakubuwana II menempati Kraton Surakarta pada tahun 1745. Sejak hancurnya Keraton Kartasura dan berdirinya Keraton Surakarta, Pakubuwono II kemudian lebih dikenal raja terakhir Kesultanan Mataram dan raja pertama Kasunanan Surakarta.

Kebijakan raja meminta bantuan asing itu, ternyata harus dibayar mahal. Wilayah pantai utara mulai Rembang di Jawa Tengah, hingga Pasuruan, Surabaya, dan Madura di Jawa Timur harus diserahkan kepada VOC. Setiap pengangkatan pejabat tinggi Keraton wajib mendapat persetujuan dari VOC. Posisi raja tak lebih dari Leenman, atau “Peminjam kekuasaan Belanda”.

Pakubuwono II memiliki kakak tiri bernama Arya Mengkunegara. Mereka satu ayah (Amangkurat IV) tapi beda ibu. Arya Mangkunegara kemudian memiliki anak bernama Raden Mas Said atau bergelar Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I.

Raden Mas Said ini bersikap anti-VOC dan dialah yang kemudian mendirikan Kadipaten Mangkunegaran atau Praja Mangkunegaran. Praja Mangkunegaran adalah kerajaan otonom yang berkuasa di wilayah Surakarta sejak 1757 sampai 1946.

Dari silsilah keturunan Amangkurat IV, setidaknya ada tiga tokoh penting pendiri kerajaan baru pecahan Mataram. Dari garwa padmi (permaisuri) GKR. Kencana (Ratu Mas Kadipaten) lahir Pakubuwana II, pendiri Kasunanan Surakarta. Dari garwa ampeyan (selir) Mas Ayu Tejawati lahir Pangeran Mangkubumi alias Hamengkubuwana I, pendiri Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dari garwa ampeyan (selir) Mas Ayu Karoh lahir Pangeran Mangkunegara, ayah dari Mangkunegara I, pendiri Kadipaten Mangkunagaran.

Mangkunegara I atau Raden Mas Said kelak mendapat gelar Pahlawan Nasional dari pemerintah Indonesia karena perjuangannya melawan VOC. Oleh VOC, ia menjadapat julukan sebagai Pangeran Sambernyawa karena di dalam peperangannya ia selalu membawa kematian bagi musuh-musuhnya.

sumber

Related posts

Polemik Normalisasi Sungai DKI dari Era Jokowi hingga Anies

Tim Kontributor

TikTok Shop Gilas Bisnis UMKM, Perlu Aturan Tegas

Tim Kontributor

Ini Tanggapan Amnesty Atas Dugaan Intimidasi Terhadap Butet dan Agus Noor Yang Mirip Orba

Tim Kontributor

Leave a Comment