Jumlah wisatawan alam baik ke kasawan konservasi maupun ke gunung semakin tahun semakin meningkat, ini berbanding lurus dengan munculnya kelompok-kelompok Pencinta Alam, Mahasiswa Pencinta Alam maupun organisasi sejenis. Jumlahnya semakin banyak. Untuk kunjungan ke kawasan Taman Nasional, pada tahun 2019 saja, jika digabungkan baik wisatwan mancanegara maupun wisatawan dari Indonesia ada sekitar 7.930.448 wisatawan. Ini hanya yang tercatat, artinya mendapatkan Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi. Data ini saya dapat dari Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi (PJLHK), Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Belum kunjungan ke gunung-gunung lain yang bukan merupakan kawasan konservasi.
Jika diambil contoh, pada tahun 2018 Gunung Semeru yang masuk kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dikunjungi oleh 853.016 pendaki gunung pada tahun 2018, dan menghasilkan PNBP sebesar Rp 27.301.587.649 atau 27,3 Milyar yang masuk ke kas negara.
Celakanya meningkatnya jumlah organisasi pecinta alam, baik Mapala, Sispala maupun Komunitas ini, berbanding terbalik dengan kegiatan konservasi yang dilakukan oleh mereka. Tidak hanya itu, kegiatan Diklatsar Mountaineering pun juga berbanding terbalik dengan jumlah pendaki gunung dan wisatawan gunung. Ini tentu saja sangat memprihatinkan. Untuk kegiatan sosial memang iya, anak-anak gunung ini rajin menggalang dana, juga terjun ke daerah bencana ketika bencana datang dan memporakporandakan Nusantara.
Namun semakin menjamurnya organisasi Pencinta Alam ini masih kurang peduli terhadap kegiatan konservasi. Padahal salah satu mengabaikan kerusakan ekosistem hutan dan gunung inilah yang menyebabkan bencana. Melakukan mitigasi bencana, menjaga kawasan konservasi, memperbaiki ekosistem hutan, juga memasukkan materi konservasi dalam kurikulum Diklatsar ini sangat penting. Ini bisa mencegah dan mengurangi bencana alam. Jika energi ketika berbondong-bondong ke kawasan bencana ini sebagian dialihkan ke kegiatan konservasi, alangkah bahagianya saya.
Saya jadi inget konsep yang sempat dilontarkan Kang Pepep. Satu Komunitas Satu Gunung. Konsep satu komunitas mempunyai lahan garapan satu gunung atau satu kawasan konservasi ini sangat bagus. Ini sudah dimulai oleh beberapa komunitas. Bara Rimba di Karawang misalnya, mereka sudah mulai fokus menggarap Gunung Sanggabuana, mendata biodiversity di kawasan jajaran Pegunungan Sanggabuana, juga melakukan pengawasan dan edukasi tentang konservasi, juga mitigasi bencana disana.
Jika konsep ini disambut baik oleh organisasi atau komunitas pecinta alam, pendaki gunung dll. Paling tidak, hutan dan gunung serta kawasan koservasi kita akan relatif terjaga dengan baik. Tidak hanya menjaga di lapangan, tetapi juga berorganisasi dan ikut menjadi pengawas dan mensupervisi kegiatan pemerintah yang berkepentingan di bidang konservasi. Jadi juga menjadi mitra KLHK, termasuk BKSDA, juga Perhutani, juga mensupervisi para pengelola basecamp pendakian gunung, terutama dalam menjalankan SNI Pengelolaan Pendakian Gunung. Seperti ICW (Indonesian Coruption Watch) yang mengawasi dan memberi masukan kepada KPK, atau IPW (Indonesian Police Watch) yang bekerja mensupervisi dan mengawasi kinerja Polri.
Salam – Wildlifer
zhie.ahmadd