Calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) mendapat banyak dukungan dari berbagai organisasi pada Pilpres 2024.
Di antara banyak pihak yang mendukung pasangan AMIN, terutama dukungan dari Ijtima Ulama.
Rekan AMIN juga menandatangani pakta integritas dengan Ijtima Ulama.
Pengamat politik dari Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, menduga ada take and gift dibalik dukungan ijtima ulama kepada AMIN alias tidak gratis.
Dimungkinkan di balik dukungan ini nantinya ormas-ormas yang dulunya dibekukan, seperti Front Pembela Islam (FPI), bisa dipulihkan kembali jika Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar menjadi presiden dan wakil presiden.
“Kalau Anies menang sangat mungkin ormas yang dibubarkan dipulihkan kembali,” kata Adi, Senin (18/12/2023).
Meski demikain, Adi menegaskan, dukungan ijtima ulama penting bagi AMIN.
“Dalam pilpres langsung, sekecil apapun dukungan politik pasti penting. Apalagi dukungan ijtima ulama pasti sangat signifikan,” kata Adi.
Menurut dia, ijtima ulama memiliki jaringan massa yang solid meskipun tidak sekuat lima tahun lalu.
“Apapun judulnya, ijtima ulama merupakan komunitas politik yang punya jejaring agak solid, meski tak sekuat 2017 dan 2019 lalu. Dalam politik, satu suara tetaplah penting,” tegas Adi.
Menurut Adi, ijtima ulama mampu memberikan tambahan suara dari kelompok Islam.
Terlebih, kata Adi, Anies memang dekat dengan kelompok Islam yang terdiri dalam gerakan 212.
“Dan sejak lama Anies memang dekat dengan kelompok ijtima ulama,” ujarnya.
“Pada level ijtima tentu harapan terbesar mereka Anies bisa menang pilpres dan memperjuangkan aspirasi Islam,” imbuhnya.
“Minimal aspirasi kelompok yang beririsan dengan ijtima ulama,” lanjut Adi.
Meski begitu, Adi meyakini dukungan ijtima ulama ini bukan bagian dari politik identitas.
Menurut dia, hal wajar dalam Pemilu, sekelompok massa menyatakan dukungan kepada calon tertentu yang dianggap mampu menjadi pemimpin.
“Itu dukungan politik warga negara biasa seperti dukungan komunitas Islam lain ke capres tertentu,” ujar Adi.
Pembubaran FPI
Pemerintah memutuskan membubarkan organisasi massa Front Pembela Islam (FPI) dan melarang segala aktivitas yang dilakukannya.
Pembubaran itu dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, Kapolri, serta Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Berdasarkan SKB tersebut, penggunaan simbol dan atribut FPI resmi dilarang di Tanah Air.
“Melarang dilakukannya kegiatan, penggunaan simbol dan atribut Front Pembela Islam dalam wilayah hukum Republik Indonesia,” kata Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Eddy Hiariej saat membacakan isi SKB di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu (30/12/2020).
Dalam SKB itu juga disebutkan, aparat hukum berwenang mengambil tindakan jika terdapat kegiatan yang menggunakan simbol atau atribut FPI.
“Apabila terjadi pelanggaran sebagaimana diatur dalam diktum ketiga di atas, aparat penegak hukum akan menghentikan semua kegiatan yang diselenggaran Front Pembela Islam,” ujar Eddy.
Pemerintah menyampaikan, FPI tidak terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Sehingga, secara de jure FPI telah bubar sebagai ormas.
Namun, sebagai organisasi, FPI terus melakukan kegiatan yang mengganggu ketentraman, ketertiban umum, dan bertentangan dengan hukum.
“Keputusan bersama ini mulai berlaku mulai tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 2020,” kata Eddy.
Dalam SKB disebutkan, ada enam hal yang menjadi pertimbangan pemerintah memutuskan untuk membubarkan dan menghentikan kegiatan FPI.
Pertama, adanya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dimaksudkan untuk menjaga eksistensi ideologi dan konsensus dasar negara, yakni Pancasila, UUD 1945, keutuhan NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Kedua, isi anggaran dasar FPI dinyatakan bertentangan dengan Pasal 2 Undang-undang Ormas.
Ketiga, Keputusan Mendagri Nomor 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014 tanggal 20 Juni 2014 tentang Surat Keterangan Terdaftar (SKT) FPI sebagai ormas berlaku sampai 20 Juni 2019 dan sampai saat ini belum memenuhi syarat untuk memperpanjang SKT.
“Oleh sebab itu secara de jure terhitung mulai tanggal 21 Juni 2019 Front Pembela Islam dianggap bubar,” ujar Eddy.
Keempat, bahwa organisasi kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan Pasal 5 huruf g, Pasal 6 huruf f, Pasal 21 huruf b dan d, Pasal 59 Ayat (3) huruf a, c, dan d, Pasal 59 Ayat (4) huruf c, dan Pasal 82A Undang-undang Ormas.
Kelima, bahwa pengurus dan/atau anggota FPI, maupun yang pernah bergabung dengan FPI, berdsarkan data, sebanyak 35 orang terlibat tindak pidana terorisme.
Dari angka ini, 29 orang di antaranya telah dijatuhi pidana.
“Di samping itu, sejumlah 206 orang terlibat berbagai tindak pidana umum lainnya dan 100 di antaranya telah dijatuhi pidana,” kata Eddy.
Pertimbangan keenam, telah terjadi pelanggaran ketentuan hukum oleh pengurus dan atau anggota FPI yang kerap melakukan berbagai razia atau sweeping di masyarakat.
Padahal, sebenarnya kegiatan itu menjadi tugas dan wewenang aparat penegak hukum.
“Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f, perlu menetapkan keputusan bersama Menteri Dalam Negeri RI, Menteri Hukum dan Hak Asasi Kanusia RI, Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam,” kata Eddy.
Disarikan Oleh ARS