Faktual.id
Bisnis

Efek Rumah Kaca – Kenang Kematian Munir 7 September 2004 lewat lagu Di Udara

Tanggal 7 September menjadi hari terkelam dalam sejarah Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Tepat di tanggal tersebut tahun 2004 silam, aktivis pejuang HAM Munir Said Thalib tewas dibunuh.

Tragedi ini menarik perhatian publik karena cara sang pelaku menghilangkan nyawa pria yang akrab disapa Cak Munir itu. Yaitu diracun arsenik saat berada di pesawat menuju Amsterdam, Belanda untuk melanjutkan studinya di Universitas Utrecht.

Munir meninggal di pesawat Garuda Indonesia (GA-974) dan kursi dengan nomor 40 G. Pria yang berasal dari Malang, Jawa Timur itu meninggal setelah diracun salah seorang pilot pesawat tersebut yang bernama Pollycarpus.

Sejak 2005, tanggal kematian Munir pun dicanangkan sebagai Hari Pembela HAM Indonesia oleh para aktivis HAM. Komisioner Komisi Nasional (Komnas) HAM Choirul Anam mengatakan hari meninggalnya Munir sudah selayaknya dimahfumi sebagai Hari Perlindungan Para Pembela HAM Indonesia.

“Pentingnya 7 September sebagai Hari Perlindungan Para Pembela HAM, bukan hanya untuk mengenang Cak Munir, namun lebih jauh adalah merawat semangat dan ide perlindungan pembela HAM Indonesia itu sendiri agar keadilan dan kesejahteraan berbasis HAM terwujud di Indonesia,” kata Choirul dalam siaran pers, Senin (7/9).

Tak hanya para aktivis HAM, kepergian Cak Munir juga tak pernah dilupakan oleh grup musik Efek Rumah Kaca. Bahkan, tragedi kematian Munir pun tertuang dalam sebuah lagu berjudul Di Udara milik Efek Rumah Kaca.

Lagu Di Udara yang dirilis Efek Rumah Kaca pada tahun 2007 ini bercerita tentang keberanian seorang Munir dalam memperjuangkan masalah-masalah HAM. Lagu ini masuk dalam album pertama Efek Rumah Kaca.

Ide pembuatan lagu ini muncul setelah sang vokalis Efek Rumah Kaca, Cholil Mahmud menyaksikan film investigasi kematian Munir yang berjudul Garuda’s Deadly Upgrade yang diproduksi Off Stream pada 2005.

Lewat lagu itu, Efek Rumah Kaca ingin menyebarkan pesan kepada masyarakat soal keberanian Munir dalam menyoroti masalah-masalah HAM yang kerap terjadi. Paling tidak, kata Cholil, hal itu menjadi tugas mereka sebagai seorang musisi.

Untuk kebutuhan liriknya, Cholil melakukan semacam riset kecil-kecilan untuk menambah referensi. Setelah rampung, mereka baru membawa ke dalam studio untuk membuat aransemen.

Adapun lirik lagunya sebagai berikut;
Aku sering diancam
Juga teror mencekam
Kerap ku disingkirkan
Sampai dimana kapan
Ku bisa tenggelam di lautan
Aku bisa diracun di udara
Aku bisa terbunuh di trotoar jalan
Tapi aku tak pernah mati
Tak akan berhenti
Aku sering diancam
Juga teror mencekam
Ku bisa dibuat menderita
Aku bisa dibuat tak bernyawa
Di kursi-listrikkan ataupun ditikam
Tapi aku tak pernah mati
Tak akan berhenti
Tapi aku tak pernah mati
Tak akan berhenti
Ku bisa dibuat menderita
Aku bisa dibuat tak bernyawa
Di kursi-listrikkan ataupun ditikam
Ku bisa tenggelam di lautan
Aku bisa diracun di udara
Aku bisa terbunuh di trotoar jalan
Tapi aku tak pernah mati
Tak akan berhenti (sumber)

“ Tulisan ini adalah bagian dari tugas dan pembelajaran kelas Manajemen Media Digital. Apabila ada kesalahan atau kekurangan mohon di maafkan” Muhamad Reza Andriansyah /MMD4

Related posts

INDONESIA DARURAT SAMPAH PLASTIK

penulis

Indonesia Fokus Jauhi Sanksi FIFA, Jangan hingga Dikucilkan dari Sepak Bola Dunia

Tim Kontributor

Satu Lagi Ipar Jokowi Menjabat Sebagai Komisaris Di Bank Plat Merah

Tim Kontributor

Leave a Comment