Faktual.id
KOMUNIKASI POLITIK Politik Luar Negeri

Dua Bulan Kudeta Myanmar, 510 Orang Tewas di Tangan Aparat

Pasukan keamanan Myanmar dilaporkan membunuh sedikitnya 510 warga sipil dalam dua bulan aksi menentang kudeta militer.

Data itu dilaporkan oleh Lembaga Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) pada Senin (29/3).

Hari Senin sendiri, AAPP mencatat 14 warga sipil tewas. Delapan di antaranya di Dagon Selatan, Yangon.

Pasukan keamanan menggunakan senjata kaliber untuk menembak warga sipil, kata saksi mata. Namun tidak jelas jenis kaliber apa yang dipakai, meskipun sebuah kelompok masyarakat memposting gambar seorang tentara dengan peluncur granat.

Sementara televisi pemerintah mengatakan pasukan keamanan menggunakan “senjata anti huru hara” untuk membubarkan kerumunan “orang teroris yang kejam.”

Hingga kini, polisi dan juru bicara junta militer belum memberikan tanggapan ketika dihubungi melalui panggilan telepon.

Salah satu kelompok utama di balik protes, Komite Pemogokan Umum Nasional, dalam surat terbuka di Facebook meminta pasukan etnis bersenjata agar membantu mereka yang menentang kudeta.

“Organisasi etnis bersenjata perlu secara kolektif melindungi rakyat,” kata kelompok itu.

Pada akhir pekan ini, readyviewed terjadi bentrokan besar di dekat perbatasan Thailand antara tentara Myanmar dengan milisi dari pasukan etnis minoritas tertua Myanmar, Persatuan Nasional Karen (KNU).

KNU kemudian menyerbu pos militer Myanmar, mengakibatkan 10 orang tewas. Kemudian, militer membom wilayah KNU. Akibat insiden itu sekitar 3.000 penduduk desa melarikan diri ke Thailand.

Kelompok aktivis menyebut 2,000 pengungsi dipaksa kembali ke Myanmar.

“Tindakan Thailand yang tidak berperasaan dan ilegal harus dihentikan sekarang,” tulis Sunai Phasuk, peneliti senior di Thailand untuk Human Rights Watch, di Twitter.

Namun pihak berwenang Thailand membantah pernyataan tersebut.

Menurut salah seorang pejabat Thailand mengatakan itu adalah kebijakan pemerintah militer untuk memblokir perbatasan dan menolak akses bantuan.

“Kami tidak ingin eksodus, evakuasi ke wilayah kami, tetapi kami akan memperhatikan hak asasi manusia,” kata Prayuth kepada wartawan di Bangkok.Sebelumnya, Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha mengatakan akan memperhatikan HAM soal eksodus warga Myanmar, dan menepis tuduhan Thailand mendukung junta.

Pertempuran lain meletus di utara Myanmar, pada hari Minggu. Pertempuran itu terjadi di daerah penambangan batu giok Hpakant, saat pejuang Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA) menyerang sebuah kantor polisi, menurut laporan media Kachinwaves.

Baik KNU dan KIA telah menyatakan dukungan untuk gerakan anti-kudeta dan meminta tentara menghentikan kekerasan terhadap pengunjuk rasa sipil.

Tindakan kejam militer Myanmar terus menjadi sorotan pihak internasional.

Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar Tom Andrews mengatakan tentara sedang melakukan “pembunuhan massal”.

Amerika Serikat mengutuk penggunaan kekuatan mematikan untuk membunuh warga sipil sebagai ha; yang “menjijikkan.” Mereka juga memperbarui seruannya untuk pemulihan demokrasi di Myanmar.

Sementara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak para jenderal Myanmar untuk menghentikan pembunuhan dan penindasan demonstrasi.

Meski menurut Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov Rusia memiliki hubungan lama dan “konstruktif” dengan Myanmar. Namun bukan berarti mereka menyepakati peristiwa tragis di negara tersebut.Rusia mengaku sangat prihatin dengan jumlah korban yang terus bertambah sejak aksi damai tolak kudeta berlangsung,

“Kami sangat prihatin dengan meningkatnya jumlah korban sipil,” katanya dikutip dari AFP.

Sejauh ini, China dan India menolak untuk mengutuk kudeta tersebut.

sumber

Related posts

Sudah Setahun Pandemi, Pariwisata RI Masih Babak Belur

Tim Kontributor

Jokowi Pemain Watak yang Punya 2 Muka, Ini Alasannya

Tim Kontributor

PSI Resmi Batal Dukung Ganjar Sebagai Capres

Tim Kontributor

Leave a Comment