Terawan Agus Putranto diberhentikan permanen dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Buntut kasus panjang dari metode ‘cuci otak’ yang kerap dipromosikan Terawan meski belum memiliki bukti ilmiah.
IDI menilai hal ini tentu membahayakan keselamatan dan jiwa pasien. Juru bicara Pengurus Besar IDI untuk sosialisasi hasil Muktamar IDI ke-31 Beni Satria, merinci sejumlah pelanggaran berat Terawan:
Promosi Berlebihan
Beni menyebut Terawan kerap mempromosikan metode ‘cuci otak’ yang belum berbasis ilmiah di sejumlah media. Klaim yang diutarakan kala itu termasuk pengobatan yang diakui dunia. Selain ditujukan untuk pasien stroke, Terawan bahkan meyakini pengobatan tersebut bisa dilakukan untuk pengidap autisme.
Biaya Pengobatan Fantastis
“Bukan merupakan rahasia lagi di masyarakat mengenai tingginya biaya yang dipungut untuk tindakan brainwash ‘cuci otak’. Pasien harus membayar dalam jumlah dana yang fantastis untuk ukuran prosedur yang sebenarnya hanya untuk diagnostik,” terang Beni.
“Maka jelas sejawat yang melakukan brainwash tidak berada dalam fase penelitian, tetapi sudah pada fase penerapan di masyarakat. Hal ini sudah termasuk pelanggaran etik dalam dunia kedokteran dan farmasi,” lanjutnya, sembari menekankan metode terkait juga tidak tercantum dalam jurnal ilmiah.
Tak hadir panggilan MKEK IDI
Total ada tujuh panggilan yang dilayangkan kepada dr Terawan dari MKEK IDI untuk mengkomunikasikan pengobatan ‘cuci otak’. Namun, yang bersangkutan tidak menanggapi panggilan terkait.
“dr TAP (Terawan Agus Putranto) sudah empat kali memberikan jawaban tidak patut untuk tidak menghadiri undangan MKEK PB IDI ditengarai merintangi upaya penegakan etik profesi kedokteran (obstruction of ethics) dari lembaga MKEK yang seharusnya dihormati bersama,” sambungnya.
Sejak diputuskan usulan MKEK IDI soal pemecatan Terawan dalam Muktamar Banda Aceh 25 Maret 2022, ada waktu kerja 28 hari selambatnya untuk memproses pemberhentian tersebut. Terkait izin praktik, IDI hanya memiliki kewenangan rekomendasi.
Rekomendasi pemberhentian izin praktik IDI spesifik terkait cuci otak.
“Kita tetap ingatkan pemerintah dan yang bersangkutan. Terkait tindakan yang bersangkutan utamanya soal tindakan tanpa evidence based,” ungkapnya.
“Tapi praktik yang lain dan sudah based on evidence boleh saja. Misalnya membaca hasil radiologi dan ini kewenangannya silakan. Atau beliau CT Scan atau USG, respons IDI silakan,” pungkas dia.
Disarikan oleh P.